Tuesday 4 February 2014

Sejarah Pelabuhan Tanjung Ringgit Palopo



SEJARAH PELABUHAN TANJUNG RINGGIT PALOPO

HISTORY OF THE PORT OF TANJUNG RINGGIT IN PALOPO
  

PENDAHULUAN
Sarana pengangkutan laut di Sulawesi Selatan masih belum memadai, ini ditandai dengan masih minimnnya sarana dan prasarana angkutan yang nyaman bagi para penumpang dan angkutan barang. Hasil survey Lembaga konsumen dan Jasa Indonesia tahun 2003, dari empat pelabuhan besar yang disurvei (Tanjung Perak, Tanjung Priok, Tanjung Emas, dan Soekarno-Hatta) pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar menempati peringkat kedua dari bawah setelah tanjung emas (Hamrie, 1988:92).  Hasil survey ini membuktikan bahwa sarana pengangkutan baik itu barang dan penumpang masih belum memadai dan belum memuaskan tingkat konsumen. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan antusiasme masyarakat di dalam menggunakan jasa transportasi pengangkutan laut. Karena transportasi laut memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan modern (Purwaka, 1984:2).
Pelabuhan sebagai sarana pengangkutan antarpulau memegang peranan penting di dalam penyebaran dan pemerataan hasil-hasil produksi antarpulau. Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa pelabuhan pengangkutan salah satu di antaranya adalah pelabuhan Tanjung Ringgit di Palopo. Aktivitas pelabuhan Tanjung Ringgit yang melayani kegiatan bongkar muat khususnya barang-barang hasil pertanian, perkebunan disamping itu juga melayani kegiatan embarkasi dan debarkasi penumpang kebeberapa pulau terutama di Kalimantan, baik itu di Balikpapan, Samarinda, Bontang dan lain-lain.Barang-barang hasil pertanian yang paling sering di pasarkan ke pulau lain lewat pelabuhan ini adalah beras. Beras merupakan komoditi utama masyarakat Sulawesi Selatan dan Pelabuhan Tanjung Ringgit sebagai mediator perdagangan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Keberadaan pelabuhan tersebut mempunyai dampak yang sangat besar terhadap aktivitas ekonomi di daerah tersebut (Siregar, 1990:75).
Tulisan ini berusaha untuk menguraikan sejarah perkembangan pelabuhan Tanjung Ringgit. Pelabuhan Tanjung Ringgit di Palopo dibangun pada tahun 1920 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada awalnya pelabuhan ini merupakan sebuah dermaga kecil yang hanya bisa disinggahi oleh kapal-kapal yang juga bertonase kecil untuk mendukung jalur distribusi barang dan mobilitas orang yang menghubungkan dengan beberapa pelabuhan lainnya seperti;  pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar dan pelabuhan Nunukan di Kalimantan. Pelabuhan Tanjung Ringgit kemudian mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan perekonomian.
Untuk menggambarkan sejarah pelabuhan Tanjung Ringgit, maka metode penelitian yang digunakan adalah sejarah kritis yang digunakan dalam penelitian ini melalui tahapan heuristic, kritis sumber, interpretasi dan historiografi. Sumber-sumber primer yang digunakan meliputi, arsip dan dokumen pemerintah. Selain sumber itu, informasi tentang pelabuhan juga diperoleh, berupa buku, artikel, majalah atau bulletin dan lain sebagainya. Sumber-sumber sejarah tersebut, setelah melalui proses kritik selanjutnya dinarasikan dalam bentuk eksplanasi sejarah.

PEMBAHASAN
Perkembangan Pelabuhan Tanjung Ringgit 1970-1985
Pelabuhan Tanjung Ringgit dianggap sebagai pelabuhan penting di Kerajaan Luwu, karena biasa berlabuh beberapa kapal junk (perahu yang besar atau kapal layar). Di daerah ini tersedia barang dagangan berupa beras, kopra, kopi, cokelat dan hasil bumi lainnya, dan lada dalam jumlah banyak sekali. Dari data tersebut tergambar bagaimana posisi dan peranan Palopo sebagai Kota Pelabuhan sangat penting di Nusantara.Walaupun hal ini tidak terkait langsung dengan pelabuhan Tanjung Ringgit yang lahir kemudian, namun memberikan gambaran posisi Palopo di jalur Internasional, dan gambaran komoditi yang ada di Palopo masa itu, bahkan pada masa awal keberadaan Pelabuhan Tanjung Ringgit menunjang aktifitas perdagangan antar daerah tahun1920 sampai tahun 1954. Melihat fungsi tersebut, pemerintah menetapkan pelabuhan Tanjung Ringgit sebagai pelabuhan khusus, artinya pelabuhan khusus penyeberangan kapal Ferry. Fungsi ini berbeda dengan keberadaan pelabuhan umum seperti Pelabuhan Soekarno - Hatta di Makassar (Sudjatmiko,1979:85).
Aktivitas pelabuhan Tanjung Ringgit sebagai pelabuhan alam yang melayani kegiatan bongkar muat khususnya barang-barang hasil pertanian, perkebunan di samping itu juga melayani kegiatan embarkasi dan debarkasi penumpang kebeberapa pulau terutama di Kalimantan, baik itu di Balikpapan, Samarinda, Bontang dan lain-lain.
Barang-barang hasil pertanian yang paling sering dipasarkan ke pulau lain lewat pelabuhan ini adalah beras. Beras merupakan komoditi utama masyarakat Sulawesi Selatan dan pelabuhan Tanjung Ringgit sebagai mediator perdagangan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Keberadaan pelabuhan tersebut mempunyai dampak yang sangat besar terhadap aktivitas ekonomi di daerah tersebut.
Kemajuan Pelabuhan 1986-1996
                          Pada tahun 1991 status hukum badan usaha pelabuhan kembali mengalami perubahan dari status Perusahaan Umum (Perum) berubah menjadi Persero. Perubahan ini lebih menekankan pengelolaan pelabuhan berorientasi pada pemupukan keuntungan. Pelabuhan di bawah pengelolaan PT (Persero) harus dapat meraih keuntungan karena merupakan salah satu sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).  Pelabuhan Tanjung Ringgit berada di bawah pengelolaan PT. (Persero) Pelabuhan IV yang mencakup pula beberapa pelabuhan lainnya di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Perubahan status ini juga berlaku untuk pelabuhan Tanjung Ringgit sejak tahun 1991 berada  di bawah pengelolaan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia IV yang berkedudukan di Makassar.
Berdasarkan studi dari LPEM-FEUI pada tahun 2012 yang membuat buruknya pelayanan di pelabuhan adalah kemacetan (congestion) pergerakan barang, terbatasnya infrastruktur, terbatasnya crane, dan administrasi (Triatmojo, 1996:123). Terkait dengan kemacetan (congestion) pergerakan barang tidak saja terjadi di dalam pelabuhan tetapi juga di luar pelabuhan yang mengakibatkan tersendatnya pengiriman barang dan mengakibatkan kapal harus menunggu lebih lama.
Persoalan lain terkait dengan pengelolaan kepelabuhanan adalah kelangkaan fasilitas pelabuhan, regulasi dan sumber daya manusia. Terkait dengan fasilitas pelabuhan, banyak pelabuhan di Indonesia yang terbuka bagi kapal asing tetapi belum sepenuhnya menerapkan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code.
Beberapa permasalahan pelabuhan Tanjung Ringgit tersebut di atas memberi gambaran bahwa pelayanan pelabuhan belum berjalan dengan baik akan berpengaruh pada distribusi barang di Indonesia karena berdasarkan data 2012 menunjukan bahwa volume arus bongkar muat barang di Palopo 60 % melalui Tanjung Ringgit.

a.     Pelabuhan dan Jaringan Transportasi
                          Pelabuhan Tanjung Ringgit merupakan salah satu pelabuhan yang ada di Sulawesi Selatan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal ferry dan kapal barang. Tetapi kondisi pelabuhan yang memiliki kedalaman yang kurang memadai membuat kapal yang memiliki tonase besar tidak dapat memasuki pelabuhan guna menghindari kandasnya kapal. Keterbatasan sarana dan kedangkalan pelabuhan membuat aktivitas bongkar muat barang mengalami hambatan. Tetapi salah satu kelebihan pelabuhan Tanjung Ringgit karena pelabuhan ini terletak di dalam kota. Hal ini menguntungkan karena angkutan barang dan penumpang dari daerah sekitar kawasan Luwu  bisa dilakukan melalui jalan darat. Sebelum barang atau penumpang dikapalkan ke pelabuhan tujuan, barang atau penumpang diangkut dengan truk atau bus dan kendaraan pribadi. Demikian  pula sebaliknya apabila datang kapal dari luar Luwu  yang akan membongkar muatannya di pelabuhan Tanjung Ringgit,  maka barang atau penumpang tersebut diangkut melalui jalan darat (Laporan Pelabuhan Tanjung Ringgit, 1993-2000).
Volume pengangkutan barang dan penumpang melalui pelabuhan Tanjung Ringgit pada tahun 1970-1985 mengalami fluktuasi. Pada masa tertentu volume bongkar muat barang dan penumpang melalui pelabuhan Tanjung Ringgit mengalami peningkatan, namun pada tahun yang lain mengalami penurunan. Pada tahun 1970 volume pengangkutan barang dan penumpang yang melalui pelabuhan Tanjung Ringgit mengalami peningkatan sampai pada tahun 1975.
Kegiatan perdagangan terjadi melalui para pedagang menyewa kapal untuk mengangkut barang-barang dagangan ke luar daerah (Wawancara: Ayushar Iriansyah,  12 Desember 2012). Beras merupakan komoditi yang paling banyak diperdagangkan di pelabuhan Tanjung Ringgit. Beras juga merupakan hasil bumi yang paling banyak diminati oleh masyarakat di daerah Kalimantan. Menurut seorang informan di daerah ini bahwa pada dasarnya kami lebih sering membawa beras keluar daerah misalnya ke Kalimantan, karena daerah ini harga beras sangat tinggi. Setelah kembali kami membawa kayu untuk dijual di daerah Sulawesi. (Herman: wawancara, 1 Desember 2012). Hal ini senada apa yang sampaikan oleh ibu Nukrah  bahwa saya berdagang beras ke Pulau Kalimantan karena dapat menjanjikan keuntungan yang sangat besar. I sini saya beli beras dengan harga Rp. 3.200 perkilo gram, maka di sana (Kalimantan) saya jual  dengan harga Rp. 4.200 perkilo gram. Keadaan ini sangat menguntungkan apabila dibandingkan saya berdagang di kampung (Wawancara: Nukrah, 3 Desember 2012).
Kutipan hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa perdagangan antarpulau yang menggunakan jasa pelabuhan sebagian besar adalah perdagangan beras, dan hasil-hasil bumi lain, seperti kacang ijo, jagung, cabe, dan lain sebagainya. Namun perdagangan jenis hasil bumi ini tergantung dari peredaran musim tanam oleh para petani.
Untuk menelaah perdagangan beras di pelabuhan Tanjung Ringgit Kota Palopo, maka tidak lepas dari sejarah perkembangan pelabuhan itu sendiri. Oleh karena di bawah ini akan diuraikan perkembangan pelabuhan Tanjung Ringgit Kota Palopo. Untuk menelusuri sejarah pelabuhan Tanjung Ringgit, penulis petakan ke dalam dua periode. Periode pertama antara tahun 1974 sampai tahun 1995, di mana pada periode ini pelabuhan Tanjung Ringgit sebagai pelabuhan rakyat dikelolah oleh pemerintah Kota Palopo, kemudian periode kedua dari tahun 1996 sampai tahun 2006, di mana pada periode ini pelabuhan Tanjung Ringgit diambil alih pemerintah pusat dinyatakan sebagai BUMN.
Pada tahap awal pelaksanaan pembangunan Dermaga Pelabuhan Awerage hanya 1 (satu) buah. Dermaga tersebut terbuat dari kayu dan merupakan milik Pemda Tingkat II Kota Palopo dengan ukuran panjang 30 meter dan lebar 6 meter yang dibangun pada tahun 1974. Dan digunakan sebagai tempat pelayaran rakyat antarpulau untuk mengangkut bahan-bahan hasil pertanian dan ternak ke daerah Kalimantan.
Pemda Kota Palopo melihat bahwa pelabuhan Tanjung Ringgit cukup potensial untuk menunjang salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Palopo akhirnya pada tahun 1990 Pemda Tingkat II Kota Palopo membangun 1 (satu) buah gedung kantor semi permanen dan lapangan penumpukan milik Departemen Perhubungan Propinsi Sulawesi Selatan dengan ukuran 50x40 meter dibangun 1 (satu) buah pos jaga yang dibangun diatas lapangan penumpukan denga ukuran 6x6 meter type 36.
Untuk memperlancar kegiatan di pelabuhan Tanjung Ringgit Pemda Tingkat II Kota Palopo membangun fasilitas penunjang berupa pembuatan jalan raya menuju ke dermaga pelabuhan sekitar ± 500 meter dalam bentuk jalan raya masih bersifat pengerasan pengadaan air minum sebagai salah satu kelengkapan fasilitas penunjang yang dikerjakan oleh pemerintah daerah pelabuhan, pembangunan kantor Bea dan Cukai semi permanen, pembangunan karantina hewan.
Pengadaan sarana komunikasi operasi udara 1 (satu) buah radio SSB ICOM IC-M 700 dari Pimpro fasilitas pengembangan pelabuhan laut Tahun Anggaran 1992/1993 dan pengadaan sarana/alat-alat  perkantoran: 4 (empat) buah kursi kayu, 1 (satu) buah kursi besi metal, sicen/kursi tamu, 7 (tujuh) buah meja kayu, 5 (lima) buah lemari kayu, 1 (satu) buah filing cabinet, 1 (satu) buah brankas, 1 (satu) buah mesin ketik, 1 (satu) buah mesin hitung, tabung pemadam kebakaran, jam eletronik, gambar peta, kipas angin, dan laap area meter (Laporan Tahunan Kantor Pelabuhan Tanjung Ringgit Tahun Anggaran 1993/1994).
Barang-barang yang dimuat di pelabuhan Tanjung Ringgit meliputi hasil pertanian, perkebunan dan peternakan. Dari dokumen dan informasi yang penulis dapatkan, dapat diketahui volume bongkar muat barang di pelabuhan Tanjung Ringgit, namun penulis akan membatasinya sesuai dengan data yang di pelabuhan Tanjung Ringgit yaitu laporan tahunan mulai 1990 sampai 1995.
Pelabuhan Tanjung Ringgit adalah suatu kawasan kerja, tempat kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari bahaya yang ditimbulkan oleh gelombang dan angin topan. Pada tahun 1996 merupakan tahun penting bagi pelabuhan Tanjung Ringgit di mana pada tahun tersebut kantor pelabuhan Tanjung Ringgit difungsikan dan dioperasikan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, dalam dinamika pembangunan pelabuhan Tanjung Ringgit. Fasilitas-fasilitas yang dibangun secara besar-besaran dibanding tahun sebelumnya, upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan kapal yang beraneka ragam, merupakan motivasi mendasar pemerintah dalam membangun pelabuhan tersebut.
Pelabuhan dapat berperan dalam merangsang pertumbuhan kegiatan industri, perdagangan dan kegiatan ekonomi dari wilayah yang dilayaninya. Tetapi pelabuhan tidak dapat menciptakan kegiatan tersebut, sebab pelabuhan hanya melayani tumbuh dan berkembangnya berbagai kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan industri, perdagangan dan lain-lain yang tumbuh dan berkembang dalam suatu daerah pelabuhan membuat peranan pelabuhan meningkat dari tempat kapal bersandar menjadi pusat kegiatan berbagai kegiatan ekonomi.
Kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam suatu pelabuhan berupa proses penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pemasaran (marketing) dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Siregar (1990:143) bahwa, pelabuhan sudah menjadi suatu unit dalam system ekonomi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan ekonomi wilayah yang dilayaninya. Oleh karena itu dalam pengelolahan pelabuhan harus dipandang sebagai suatu organisme ekonomi yang hidup menurut tata aturan ekonomi.
Sebagai suatu sistem ekonomi, maka pelayanan jasa pelabuhan harus lebih baik seiring dengan peningkatan perdagangan yang semakin pesat. Dengan harus dibangun alur pelayaran harus dikeruk, system administrasi dalam suatu pelabuhan harus ditingkatkan, karyawan dan buruh pelabuhan harus dilatih. Namun suatu masalah yang sering dihadapi oleh pihak pelabuhan tentang tidak diketahui secara tepat jumlah barang, jenis, ragam dan muatan yang akan melalui pelabuhan. Sehingga mempersulit pelaksanaan persiapan bagi peningkatan kemampuan pelabuhan tersebut. Pelabuhan harus tetap peka terhadap perubahan yang akan terjadi dan harus mampu memberikan pelayanannya yang lebih baik.
Setiap pelabuhan khususnya pelabuhan Tanjung Ringgit harus dapat membiayai dirinya, walaupun struktur dan tingkat tarif pelabuhan selalu nampak penekanan pada pengutamaan pelayanan agar arus barang melalui pelabuhan tetap lancar dan dapat merangsang kegiatan perdagangan dan pembangunan pada umumnya. Dengan demikian walaupun pelabuhan harus dikelolah sebagai salah satu unit ekonomi dan unit usaha, dimana berlaku tata aturan ekonomi tetapi kebijksanaan tarif pelayanannya harus berorientasi kepada pengembangan ekonomi. Hal ini berarti bahwa pelabuhan tidak hanya bertujuan mencari penerimaan yang cukup, tetapi dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Dengan adanya dan berfungsinya pelabuhan Tanjung Ringgit di Kota Palopo, pada dasarnya secara langsung membawa perkembangan perekonomian bagi pengusaha pribumi (pengusaha ekonomi lemah) utamanya yang bergerak di bidang pelayaran dan perdagangan antar pulau dan memberikan manfaat-manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, terutama dalam menciptakan peluang kerja bagi masyarakat. Dibutuhkannya tenaga buruh pelabuhan untuk mendukung pelaksanaan bongkar muat barang merupakan salah satu peluang kerja yang diciptakan oleh pelabuhan (Wawancara: Haeruddin,  12 Desember 2012).
Sebagai unit pelayaran dengan berbagai jenis kegiatan dan pekerjaan yang begitu kompleks, pelabuhan juta telah menjadi suatu masyarakat kerja dengan ciri-ciri kehidupannya sendiri. Pemberian status ekonomi (Port Authority) bagi pelabuhan, menyebabkan pelabuhan tersebut dapat mengikuti gerak kehidupan ekonomi dan masyarakat yang harus dilayaninya. Tidak terkecuali pelabuhan Tanjung Ringgit di Kota Palopo.
b.     Kunjungan Kapal
            Perkembangan perdagangan di pelabuhan Tanjung Ringgit selain berhubungan erat dengan komoditas yang dihasilkan oleh Sulawesi Selatan  yang didukung oleh fasilitas pelayaran antarpulau. Berdasarkan PP No. 2 tahun 1969 pasal 5 disebutkan bahwa pelayaran terdiri atas pelayaran dalam negeri dan pelayaran luar negeri. Pelayaran dalam negeri meliputi:
1.     Pelayaran Nusantara (antarpulau/interinsuler)
Merupakan pelayaran yang melakukan usaha pengngkutan antarpelabuhan di Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh dan ketentuan yang berlaku. Wilayah operasi perusahaan pelayaran meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia tanpa memandang jurusan yang dituju dan ketentuan yang berlaku. Usaha pelayaran Nusantara ini  pada umumnya menggunakan kapal berukuran 1000-3000 ton. Dalam pengertian pelayaran Nusantara ini tercakup di dalamnya jenis pelayaran rakyat, yaitu pelayaran dalam bentuk yang lebih sederhana dari pelayaran samudra  dengan wilayah operasi di seluruh teritorial Indonesia. Ukuran kapal yang dipakai pada pelayaran rakyat  relatif lebih kecil dari kapal pelayaran nusantara, jumlahnya lebih banyak sehingga sering disebut armada semut.
2.     Pelayaran Lokal
Merupakan pelayaran yang melakukan usaha pengangkutan antarpelabuhan di Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri dengan mempergunakan kapal yang berukuran 500 m3 . Pelayaran ini bergerak dalam provinsi atau beberapa provinsi yang berbatasan.
3.     Pelayaran Rakyat
Yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layar. Penyelenggaraan angkutan laut ini dilakukan oleh perorangan sebagai usaha rakyat yang bersifat  tradisional. Pelayaran rakyat ini melayari jalur pelayaran antarpulau.
            Sedangkan pelayaran luar negeri atau pelayaran samudera  adalah jenis pelayaran yang beroperasi di perairan internasional dan bergerak antara satu negara ke negara lain dan harus memperhatikan  hukum serta konvensi internasional yang berlaku.
            Dari kelima jenis pelayaran di atas, pelayaran rakyatlah yang paling meramaikan aktifitas di pelabuhan Tanjung Ringgit. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan. Dari tahun 1975 yang berjumlah 25 %  kemudian mengalami peningkatan hingga tahun 1980 mencapai 50 atau kira-kira 65 %. kemudian dari tahun 1980 menagalami penurunan kemudian meningkat secara bertahap pada tahun 1985.
            Dari data kunjungan kapal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelayaran rakyatlah yang meramaikan pelabuhan Tanjung Ringgit jumlahnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Muatannya adalah hasil-hasil bumi, perkebunan dan pertanian. Sampai tahun 1980-an data menunjukkan bahwa armada pelayaran rakyat masih tetap merupakan salah satu alat transportasi terpenting bagi pengangkutan barang antarpulau. Perkembangan pelayaran rakyat memang berkaitan dengan perdagangan, terutama ketika perdagangan kayu asal Kalimantan ikut meramaikan arus perdagangan di Indonesia. Armada pelayaran rakyat banyak menikmati keuntungan dari perdagangan kayu tersebut. Dalam hal ini armada pelayaran rakyat hampir tidak tertandingi oleh jenis transportasi laut lainnya.
            Salah satu faktor yang menyebabkan pengangkutan dengan perahu banyak diminati adalah mudah dan cepatnya bongkar muat barang walaupun hampir semua aktivitas bongkar muat dilakukan dengan tenaga manusia. Biasanya barang yang datang segera dibongkar ke dalam truk yang sudah siap di dekat perahu. Pengangkutan barang dengan perahu memberi tiga keuntungan bagi pemilik perahu dan awaknya, maupun bagi pemilik barang. Keuntungan pertama, dengan cara bongkar muat seperti tersebut di atas akan sangat mengurangi biaya. Keuntungan kedua, barang terhindari dari kerusakan pada saat bongkar muat karena barang dikeluarkan/dimasukkan dari/ke dalam perahu satu persatu. Seandainya terjadinya kerusakan pada barang maka akan cepat diketahui  dan dapat segera ditanggulangi. Keuntungan ketiga adalah waktu transit di pelabuhan yang lebih cepat karena prosedur pabean di pelabuhan tidak rumit dibanding dengan pelabuhan utama.
            Meskipun demikian, sebagai alat transportasi tradisional, armada pelayaran rakyat memang memiliki beberapa kelemahan, terutama tidak dapat menjamin kecepatan dan keselamatan barang sampai di tempat tujuan karena perahu layar rawan kecelakaan. Kadang-kadang perahu rusak di tengah perjalanan sehingga pengangkutan barang memerlukan waktu lebih lama lagi. Akibatnya barang sudah dalam keadaan rusak ketika sampai di tempat tujuan karena perahu tenggelam di perjalanan bersama seluruh barang yang diangkut (Sallatang, 1976:92)

PENUTUP

Perkembangan perdagangan yang meningkat secara pesat terutama pada pertengahan abad ke-20 tampaknya telah mendorong tumbuhnya kota-kota pelabuhan perdagangan di sekitar pantai bersamaan dengan pertumbuhan negara-negara maritim baru seperti Indonesia. Bersamaan dengan itu tumbuh pula golongan pedagang di kota-kota pelabuhan yang menjadi tulang punggung kegiatan perdagangan pada waktu itu. Para saudagar atau pedagang yang tinggal di kota-kota bandar perdagangan menggantungkan hidup dari usaha perdagangan serta pelayaran.
Kegiatan pengelolaan pelabuhan pada masa awal kemerdekaan dilakukan oleh Jawatan Pelabuhan. Selanjutnya diadakan penataan kembali organisasi pengelolaan pelabuhan karena adanya nasionalisasi pelabuhan milik belanda dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang  (Perpu) No. 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara Yang menetapkan bahwa status pengelolaan pelabuhan dialihkan dari jawatan pelabuhan menjadi bentuk badan hukum perusahaan Negara.
Palopo, bukan nama baru dalam sejarah Indonesia, ketenarannya pada masa Kedatuan Luwu, di mana pelabuhan Tanjung Ringgit menjadi pelabuhan yang cukup penting pada masa itu. Walaupun Palopo berpisah secara administrasi dengan wilayah Kabupaten Luwu namun kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat. Posisi penting ini yang membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan Tanjung Ringgit yang telah dimulainya sejak tahun 1920. Pertimbangannya bukan karena letaknya yang strategis tetapi juga dukungan wilayah belakang yang kaya dengan hasil-hasil bumi.
Pascakemerdekaan Republik Indonesia pengelolaan pelabuhan Tanjung Ringgit dilakukan oleh sebuah Jawatan Perhubungan dan setelah pemerintah Republik Indonesia menggulirkan nasionalisasi semua perusahaan asing tahun 1959, pelabuhan Tanjung Ringgit dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah.
Dalam rangka untuk meningkatkan pelayanannya variabel yang menentukan adalah persepsi terhadap approaching time (waktu yang digunakan kapal dari saat menunggu hingga merapat di dermaga) dan berthing time (waktu yang digunakan kapal untuk bersandar di dermaga). Perbandingan kemampuan dua variabel tersebut menunjukan bahwa approaching time lebih mampu menjelaskan persepsi pelayanan pelabuhan dibandingkan dengan variabel berthing time. Usaha memperkecil approaching time adalah dengan meningkatkan kemampuan SDM (petugas pandu) maupun sistem peralatan baik kapal pandu maupun peralatan navigasi. Untuk perbaikan waktu berthing time dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem manajemen tenaga kerja (buruh) sehingga dapat cepat melakukan bongkar muat di pelabuhan sehingga mengakibatkan waktu yang digunakan kapal untuk bersandar lebih pendek.

DAFTAR PUSTAKA
Hamrie P, dkk. 1988. Peranan Pelabuhan Makassar Sebagai Pelabuhan Samudra.Ujung Pandang: LEPHAS.
Laporan Tahunan Pelabuhan Awerange Kabupaten Barru, tahun anggaran 1993-2000, Kantor Pelabuhan Awerange.
Purwaka, Tommy H. 1984. Pelayaran Antar Pulau Indonesia: Suatu Kajian Tentang Hubungan Antara Kebijakan Pemerintah dengan Kualitas Pelayanan Pelayaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sallatang, 1976. Desa Pantai di Sulawesi Selatan dan Strategi Pengembangannya. Ujung Pandang: Tim Studi Pedesaan UNHAS.
Siregar, Muchtaruddin. 1990. Beberapa Masalah Ekonomi dan Management Pengangkutan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI).
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1960. Lembar Negara Republik Indonesia.
Sudjatmiko, F.D.G. 1979. Pokok-Pokok Pelayaran Niaga. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Triatmojo, Bambang. 1996. Pelabuhan. Yogyakarta: Beta Offset.
Informan:
Wawancara: Herman, 1 Desember 2012
Wawancara: Haeruddin, 2 Desember 2012

Wawancara: Nukrah, 3 Desember 2012
Wawancara: Ayushar Iriansyah, 12 Desember 2012


Nilai Budaya Dalam Upacara Perkawinan Adat Tolaki



NILAI BUDAYA DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT TOLAKI DI KELURAHAN BENDE KECAMATAN MANDONGA KOTA KENDARI

CULTURAL VALUES IN TRADITIONAL MARRIAGE CEREMONY
OF TOLAKI IN BENDE VILLAGE, DISTRICT OF MANDONGA
KENDARI CITY

PENDAHULUAN
Budaya atau kebudayaan dalam arti etimologis adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Budaya adalah sistem nilai yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama dan menjadi kekuatan pendukung dalam menggerakkan kehidupan. Dengan demikian budaya merupakan seluruh cara hidup suatu masyarakat yang mewujud dalam tingkah laku dan hasil tingkah laku yang dipelajari dari berbagai sumber. Kebudayaan diciptakan oleh faktor biologis manusia, lingkungan alam, lingkungan psikologis serta lingkungan sejarah (http://wahyukusumaningrum.blogspot.com).
Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban manusia. Selain itu, kebudayaan juga bisa menunjukkan ciri kepribadian manusia atau masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi manusia, di dalamnya mengandung norma-norma, tatanan nilai-nilai yang perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia atau masyarakat pendukungnya. Penghayatan terhadap kebudayaan dapat dilakukan melalui proses sosialisasi (Koentjaraningrat, 1980:243).
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat nilai-nilai dan cara berlaku (artinya kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki oleh para warga dari suatu masyarakat (Ihromi, 1990:21-22). Jadi, kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Hal itu meliputi cara-cara bertingkah laku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu (Mulyadi, dkk 1982/1983:4). Suatu unsur kebudayaan akan tetap bertahan apabila masih memiliki fungsi atau peranan dalam kehidupan masyarakatnya, sebaliknya unsur itu akan punah apabila tidak berfungsi lagi. Demikian pula upacara tradisional sebagai unsur kebudayaan tidak mungkin kita pertahankan apabila masyarakat pendukungya sudah tidak merasakan manfaatnya lagi (Mulyadi, dkk 1982/1983:8).  Dan dalam suatu tradisi selalu ada hubungannya dengan upacara tradisional (Isyanti, 2007:131).
Upacara tradisional merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Maka pelaksanaannya  sangat penting artinya bagi pembinaan  sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal ini disebabkan salah satu fungsi dari upacara tradisional adalah sebagai penguat norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku (Supanto, 1992:221-222).
Norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku secara simbolis dapat ditampilkan melalui bentuk upacara yang dilakukan oleh seluruh masyarakat pendukungnya. Sehingga upacara tersebut dapat membangkitkan rasa aman bagi setiap warga masyarakat, serta  dapat menjadi pegangan hidup dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya sehari-hari.
Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah persada nusantara, suku Tolaki juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya. Masyarakat suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Mandonga Kota Kendari, hingga saat ini masih tetap mempertahankan  upacara perkawinan yang berlandaskan dengan unsur-unsur adat. Dengan mengikuti aturan-aturan  adat yang telah diberlakukan sejak turun temurun berarti masyarakatnya telah dapat  menjaga budaya-budaya lokal tersebut agar  tetap lestari.
Pengertian upacara dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah rangkaian, tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama; perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (Sugono, dkk, 2008:1595). Dalam Koentjaraningrat (1984:189) upacara atau ritual  diartikan  sebagai suatu sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. R. Brown (dalam Keesing, 1992:109) ritual itu dianggap mempertebal perasaan kolektif dan integrasi sosial. Ritual yang dilaksanakan dapat menimbulkan kerukunan (keselarasan bersama) bagi kelompok para tetangga (Geertz, 1992:84).
Kaitannya dengan upacara lingkaran hidup (life cycle), dalam perkawinan masyarakat Tolaki mereka memakai tiga istilah yakni medulu (berkumpul), mesanggina (makan bersama dalam satu piring), dan istilah yang paling lazim digunakan adalah merapu (merumpun). Istilah-istilah dimaksud bahwa seseorang yang kawin bersatu dalam ikatan sebagai anggota dari suatu rumpun keluarga yang tergabung dalam ikatan erat dengan semua anggota kerabat, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami, dan diharapkan akan melahirkan banyak keturunan, serta semakin memperbesar rumpun itu laksnana rimbunnya suatu pohon.
Perempuan yang dianggap paling ideal untuk dijadikan istri bagi orang Tolaki adalah poteha monggoaso (sepupu sekali), poteha monggoruo (sepupu dua kali), dan poteha monggotolu (sepupu tiga kali). Perkawinan dengan sepupu  disebut perkawinan mekaputi (ikat mengikat). Sebagai lawannya dan saat sekarang ini sering terjadi perkawinan di luar sepupu yang disebut merapu ndono suere (kawin dengan orang lain). Perkawinan yang ideal semacam ini, pada dasarnya agar harta kekayaan tidak jatuh pada pihak lain di luar kerabat dan integrasi asal dari satu nenek moyang tetap terbina dan dipertahankan. Sedangkan bagi seorang laki-laki memilih gadis di luar dari kerabatnya (tidak ada hubungan kekerabatan) didasarkan pada gagasan untuk memperluas lingkungan kerabatnya dan serta ada tujuan tertentu yang dikehendaki (Tarimana dalam Supriyanto, 2009:230).
Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk perkawinan masyarakat suku Tolaki?  Dan  nilai-nilai budaya apa saja yang terkandung dalam perkawinan adat suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Bende Kota Kendari?
Tujuannya untuk mengetahui bentuk dan tahapan-tahapan  dalam pelaksanaan upacara perkawinan suku Tolaki, serta dapat mengetahui nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pelaksanaan upacara adat suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Mandonga Kota Kendari.
Metode yang digunakan adalah deskriptif melalui pendekatan kualitatif dengan mengamati, menggambarkan dan mengungkapkan perilaku upacara-upacara daur hidup. Teknik pengumpulan data melalui data primer dan data sekunder. Data primer telah diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh melalui sumber-sumber referensi yang terkaitan dengan upacara-upacara daur hidup. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati (Bogdan & Taylor, (1993:5)

PEMBAHASAN
Dalam proses atau tahapan perkawinan, orang Tolaki berpandangan bahwa perkawinan adalah suatu proses tahapan memasuki kehidupan yang sangat sakral. Perkawinan dianggap sebagai suatu proses aktivitas jasmaniah dan rohaniah bagi pasangan suami dan istri. Dengan demikian, proses perkawinan itu  dilakukan melalui adat istiadat. Terdapat lima tahapan dalam upacara perkawinan suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Mandonga Kota Kendari. sebagai berikut:


Tahap metiro (mengintip, meninjau calon istri)
Metiro adalah tahap awal dari rangkaian pertemuan, ritus dan upacara yang menuju perkawinan. Pada tahap ini, kedua orangtua calon mempelai laki-laki mengunjungi rumah calon mempelai perempuan untuk mengamatinya secara diam-diam. Memastikan calon menantunya benar-benar seseorang yang diinginkannya dengan mengamati aktifitasnya sehari-hari. Apabila si gadis tidak tidur tetapi sibuk bekerja di dapur, menjahit atau sedang menganyam misalnya. Maka si pengunjung tersebut meninggalkan sebuah benda berupa bingkisan kain yang berisi sirih-pinang, uang logam, perhiasan perempuan tanpa sepengetahuan pihak rumah atau mereka sebut dengan istilah monggolupe. Setelah tiga atau tujuh hari, pihak keluarga calon mempelai perempuan tidak mengembalikannya maka tahap kedua sudah bisa dilaksanakan.
Tahap mondutudu atau pelamaran jajangan
Mondutudu (lamaran pendahuluan) adalah tahap di mana kedua orangtua calon berserta keluarga calon memperlai laki-laki serta juru bicara (tolea) datang ke rumah calon mempelai perempuan untuk melakukan pelamaran pertama. Orang tua calon istri untuk melakukan pelamaran yang pertama. Dan mengundang sejumlah anggota keluarganya untuk mengikuti calon pelamaran ini. Dengan menggunakan kalo, juru bicara menyampaikan kata-kata lamarannya kepada keluarga si gadis. Dalam peristiwa ini terjadilah dialog antara kedua belah pihak melalui juru bicara masing-masing. Isi dari tiap dialog pada dasarnya pihak laki-laki menanyakan kepada pihak perempuan. Apa orang tua si gadis mempunyai se bidang tanh, hutan belukar yang dapat diolah, ditanami dan diperilahara laki-laki. Pihak perempuan menjawab menjawab pertanyaan tersebut. Bahwa kami mempunyai sebidang tanah, tetapi apakah pihak laki-laki mampu mengolahnya karena tanah yang dimaksud memiliki banyak duri, bamboo, akar melintang, lagi pula tanahnya kurang subur. Jika engkau berkeinginan untuk itu maka autinggi tinggi’iki o lutunu (engkau harus menyembunyikan lututmu), maksudnya, apakah calon suami dan keluarganya mampu fisik untuk bertindak dan melakukan fungsi sebagai suami, atau menantu atau ipar. Juru bicara dari pihak perempuan kepada juru bicara pihak laki-laki. Dengan tegas dijawab oleh juru bicaranya bahwa ia telah siap untuk itu. Maka selanjutnya diterimalah lamaran pendahuluan. Adapun syair-syair dalam pelamaran, sebagai berikut:
“Iyee nggomio, tolea, pabitara;
Pabitara tina. toleano mbulaika;
Iyee ngomiu mbera ulono anakia. Tusa tonggono lipu;
Luewuakondo’aa mbera tamono anamotuo, ronga toono meohai;
Laa-laa moronggo-ronggo, etai moppo-moppo dea;
Niinoi tadea, I’aandeporombobu’a

Artinya:
Yang saya hormati, juru bicara tuan rumah;
Selaku wakil adat pihak keluarga wanita;
Penyambung lidah keluarga tuan rumah;
Para Tetua Adat Negeri yang saya muliakan;
Hadirin dan hadirat peserta upacara yang saya hormati;

Tudo’ito osara, telenga poewai;
Tudu mepotira, telenga mepoluhu;
Iraimiu tolea, iwoimiu pabitara;
Pabitara mbulaika, tolearo mburaha;
Tolearo mbuana, pabitaro mbuwulele;

Artinya:
Telah terhampar kalo di depan kita semua;
Terhampar merentang, terbentang melabar;
Di tengah-tengah kita sekalian;
Dipelupuk mata kuasa orang tua si gadis;

Maa niino inggomiu, tolea;
Sara mbesukonoto pabitara ine langgai;
Peowai mbombependehimamito lako ihanumiu tolea;
Keno hendeakono ano taaniondo anamotuo;
La tineolu-olungako, bara tootopo nanio meohai nggo pinote-potende;
Laa ito patudumami, nggo sumau-saru’i otuomami


Artinya:
Inilah niat adat penghormatan kami;
Adat penghormatan pihak keluarga pria;
Adat penghargaan kami bersama semua rombongan;
Telah terbetik kehendak kami untuk bertanya;
Lahir sudah keingingan rombongan kami untuk memohon isyarat;

Nggo umeroii laa-laa nilakoakomami;
Leu butukomiu, dunggu sumusuakomiu ikeni laikamiu iune rahamiu;
Maa iye nggomiu toleea, pinerahi-rahiro mbulaika;
Akuto botalaoke laa otuomami, akuto semaroikomiu niino kenohawo laa nilakoarko mami;
Nggo leumamito tamono mokodunggui niino bite tinongo
Niwule nggukalero I………………;
Bite mbonduutuduroto Inano I………;
Mbeohai, ronga mbeoanamotuo;

Artinya:
Apakah gerangan semua keluarga sudah hadir semua;
Maka sekiranya semua telah hadir;
Inginlah rasanya untuk memulai acara ini;
Malahirkan maksud, menyampaikan tujuan kedatangan kami;

Ropeo otuonggeto, ropeleleongge;
Leu butukomiu, dunggu sumuakomiu irahamiu iaalaikamiu;
Roosito laa mepenao’i, romenggauto laa menawa-nawangge;
Marolaambo metanggoro, taahori mosekangge;
Mbeepo tamono taahori mombeka hori-hori ako;
Pesaruno taa hori mombeka here-hereako;

Artinya:
Maka wahai juru bicara adat tuan rumah;
Perkenanlah saya untuk memulai kata;
Kata maksud kedatangan kami;
Ucapan isi tujuan kehadiran kami;
Bahwa tak lain dan tak bukan maksud kami;
Kecuali semata-mata tujuan membawa pesan;
Pesan bungkusan sirih-pinang bapaknya si ………………….;
Pesan daun siri-pinang penjajakan mamaknya si ……………..;

Maa niina inggomiu Tolea;
Tamonoto Sara mbonduutudu, Niwule mborakepi;
Kionggoto kuri meosuko, tamono mombeokunaahi;
Keno uhu-uhuako bara laambo mbulaika monaa-naa anasepu;
Mombia-piara tamono anahoma;
Anasepu nggomalurano, anahoma ngewali tinau-tau;



Artinya:
Bahwa telah lama niat hasrat suci ini;
Terpendam di hati, terbungkus rapih di dalam kalbu;
Namun barulah saat ini, dapat kami lahirkan;
Karena hambatan segan dan ragu;
Terlebih lagi, karena saling berjauhan;

Noowose niaro nggo masale-salei;
Noteondo penaoro nggo mombopoti-potiso;
Nggo mondau-tau gandu, mehawu-hawu wua mburundawa;
Nolaambo uhuaro longgai taa hori nio wuta mbinotisono;
Anandonia ndinorairo, taa hori laa homa mbinarahino;

Artinya:
Tapi kini telah jelaslah sudah maksud adat kami;
Karena tujuan adat kami adalah adat peminangan awal;
Adat ingin bertanya, kehendak ingin tahu sesuatu dari tuan rumah yang tercinta;
Sekiranya tuan rumah masih menyimpan sebidang lahan;
Lahan semak belukar, tempat untuk bertanam jagung serta sayuran;
Lahan yang subur, semak belukar yang rimbun.

Iyee nggomiu Tolea, Pabitara;
Nggombera ikenitokaa, kenoohawo keku tulura;
Akuto mesukahako, morongo-rongo;
Meturusako mope-poedea, Iyee inggomiu luwuakono”. Wassalamu’alaikum War. Wab.

Artinya:
Maka jika sekiranya ada, sungguh besar niat kami untuk memintanya untuk membersihkan dan menanaminya;
Bagi anak muda kami yang sampai kini belum ada lahannya;
Lahan yang akan ditempati serta akan dirawatnya;
Demikian kiranya, yang kami ingin sampaikan;
Lebih kurangnya mohon dimaafkan;
Kami akhiri pembicaraan ini sampai di sini;
Dan sesudah ini, kami tinggal menanti tanggapan anda;
Sekian Wassalamu’alaikum War. Wab.

Tahap pelamaran sesungguhnya (meloso’ako)
Tahapan ini merupakan tahap peminangan secara resmi yang juga dilakukan dalam upacara kalo.  Dalam tahapan ini, mulai membicarakan mengenai waktu, tanggal dan tempat pelaksanaan perkawinan serta maskawin atau popolo (o somba). Adapun benda-benda yang menjadi popolo (o somba) yakni  o benggi artinya tempayang, karandu (gong),  kiniku (kerbau), pu’u ndawaro, (rumpun sagu), serta o kasa  (kain katun putih). Bagi orang Tolaki di Kelurahan Bende jumlah mas kawin bergantung dengan derajat sosial calon mempelai perempuan, dan terdiri atas 3 macam:
1.   Pu’uno (dasar, pokoknya) yang dinilai dengan o kasu (pohon atau batang)
2.   Wawono, tawano, ihino (masing-masing bagian dari pohon, daun, buah) yang dinilai dengan o mata (suatu harta yang dinyatakan dengan sebuah, sepotong, seutas, selembar, dan seterusnya.
3.   Sara pe’ana (adat pengasuhan bayi), maksudnya, ganti rugi pengasuhan bayi perempuan, yang dinilai dengan boku mbebahoa (wadah pemandian bayi), tambu-tambu (timba air memandikan bayi), posiku o hulo like-like mata (alat menyalakan lampu dammar untuk tidak tidur dalam menjaga bayi). Adapun tempat dan waktu pesta perkawinan pada umumnya ditetapkan untuk diselenggarakan di rumah orang tua atau pihak keluarga perempuan dan di dalam waktu yang dipandang baik, yaitu bulan haji pada hari malam bulan molambu-mataomehe (hari malam 14 dan 15 bulan di langit).

Tahap Mondongo Niwule (meminang).
Tahap ini adalah penghantaran siri-pinang dan biaya penyelenggaraan pesta perkawinan yang dibawa oleh calon mempelai laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan. Adapun benda-benda yang dibawa calon mempelai laki-laki, berupa: sejumlah uang, beras, kerbau sesuai dengan jumlah uang yang telah  disepakati oleh kedua belah pihak. Inti dari maksud tahapan ini adalah selain penghantaran sirih pinang tetapi juga calon suami memberikan bingkisan kepada calon istrinya, berupa apa yang disebut pobe-babuki-pombesawuki (pakaian lengkap, perhiasan, dan aneka ragam benda kosmetik).
Tahap Imowindahako (upacara nikah)
Tahap ini merupakan tahap ahir dari penyelenggaraan upacara perkawinan secara adat yang disusul dengan pengucapan “akad nikah” sesuai dengan agama (keyakinan) masing-masing. Dalam upacara pernikahan secara adat ini pihak laki-laki melalui juru bicaranya menunjukkan dan mengumumkan secara resmi semua benda-benda mas kawin yang dibawa oleh pihak mempelai laki-laki yang telah ditetapkan bersama oleh kedua belah pihak. Kemudian benda-benda tersebut diserahkan atau diterimakan pihak keluarga mempelai perempuan melalui juru bicaranya.
            Mengamati tahap-tahap dalam proses penyelenggaraan perkawinan dalam masyarakat suku Tolaki yang telah digambarkan di atas, tampak suatu hal yang mendasar. Yaitu bahwa mulai tahap kedua sampai tahap kelima selalu diadakan upacara dengan menggunakan kalo. Tanpa kalo suatu upacara dalam perkawinan dianggap tidak sah. Tidak ada upacara tanpa disertakan kalo. Selanjutnya adalah asas perwakilan yang diperankan oleh dua juru bicara, baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Masing-masing memerankan hubungan antara kedua belah pihak di kalangan keluarga pihak laki-laki-laki dan keluarga pihak perempuan.
            Pada malam yang bersamaan, baik pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan akan diberi perhiasan oleh seorang ahli untuk menghadapi cara pernikahan esoknya. Malam sebelumnya, sehari sebelum akad nikah, di rumah masing-masing pengantin ramai dikunjungi dari pihak kerabat yang diundang untuk hadir menemui pengantin, untuk mengambil bahan rias yang telah dipersiapkan dalam sebuah piring, dengan ibu jari mengoleskannya dibagian paras pengantin. Selain itu ada pula di antara tamu telah memberikan kado kepada pengantin, walapun pada acara resepsi pernikahan masih ada kesempatan untuk itu.
            Keesokan harinya atau hari menjelang akad nikah, para rombongan dari pihak pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan. Para rombongan terdiri atas ahli rias pengantin, kedua orang tuanya pengantin, sejumlah pengantar membawa alat-alat perlengkapan mas kawin dan pakaian pengantin laki-laki, juru bicara, dan sejumlah anggota rombongan dari kerabat dan tetangga terdekat. Biasanya seorang ahli rias adalah seorang dukun yang bertanggung jawab atas segala hambatan yang timbul dalam perjalanan menuju rumah pengantin perempuan.
            Di pintu gerbang rumah pengantin perempuan dihalangi sejumlah gadis remaja yang cantik-cantik sebagai pagar ayu yang siap menanti tibanya rombongan pengantin laki-laki, yang menuntut sejumlah kepingan uang logam dan uang kertas agar rombongan dapat langsung memasuki pekarangan rumah. Dengan demikian, maka dibukakanlah jalan agar pengantin bersama rombongannya dapat masuk atau naik ke rumah. Di atas tangga tampak sejumlah ibu-ibu menghamburkan beras kuning ke atas kepala dan muka pengantin dan rombongannya.
Hambatan kedua kembali tidak bisa langsung masuk dalam rumah karena ditutup barisan gadis-gadis remaja. Mereka menuntut pula pembayaran seperti yang terjadi di pekarangan pintu gerbang. Setelah kembali melakukan pembayaran dengan memberikan uang logam dan sejumlah uang kertas maka dipersilahkanlah pengantin laki-laki bersama rombongannya memasuki rumah dan dipersilahkan oleh pemilik rumah untuk mengambil tempat duduk yang telah dipersiapkan.
Kedua pihak keluarga dari pengantin laki-laki dan perempuan saling berhadap-hadapan, dan dalam suasana hening bening. Selanjutnya dilakukanlah acara mombesara (acara puncak dari adat perkawinan adat suku Tolaki) untuk melakukan upacara mowindahako (akad nikah). Acara ini diperankan oleh  kedua juru bicara dari pihak kedua mempelai, dengan perantara kalo, intinya terletak pada penyerahan mas kawin kepada pihak keluarga pengantin perempuan.
Setelah juru bicara pihak laki-laki meletakkan atribut kalo di depan juru bicara pihak perempuan, maka ia mulai berdialog sebagai kata pembuka dari dialognya dengan juru bicara pihak perempuan. Kata-kata pembuka tersebut ditujukan kepada juru bicara, orang tua dan keluarga pihak pengantin perempuan yang telah diperlakukan telah hadir. Isi dialog antara kedua juru bicara tersebut adalah seputar pada beberapa hal, yaitu; (1) kesiapan benda-benda mas kawin dari pihak laki-laki untuk segera diserahkan kepada pihak perempuan; (2) permohonan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk menerima mas kawin yang telah diperhadapkan dengan rasa kekeluargaan yang dalam; (3) pernyataan pihak  perempuan akan kesungguhan pihak laki-laki dalam usahanya menyambung tali persaudaraan dan memperluas hubungan kekeluargaan; dan (4) serangkaian ungkapan-ungkapan yang menggambarkan suasana gembira dan lucu sebagai rasa syukur atas lancarnya proses pelaksanaan acara.
Sesudah seluruh prosesi di atas dilaksanakan tiba saatnya dilaksanakan rangkaian pernikahan yang dilakukan secara Islam. Biasanya diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-quran, kemudian secara berturut-turut penandatanganan berkas-berkas nikah oleh petugas penghulu, penyerahan mas kawin, penyerahan perwalian dari wali perempuan kepada petugas penghulu jiwa walinya tidak berkenan menikahkan anak perwaliannya. Kemudian prosesi akad nikah yang terdiri atas khutbah nikah, ijab-qabul dan doa.
Acara selanjutnya adalah pengantin laki-laki memasuki kamar di mana istrinya sedang dipingit di atas ranjang. Untuk ketiga dan keempat kalinya pengantin laki-laki dan pengiringnya menemui rintangan untuk masuk karena pintu kamar dan kelambu sedang dibentengi oleh sejumlah gadis yang menuntut pula bayaran. Di sini tampak pengiring pengantin laki-laki tidak segan mengeluarkan sejumlah kepingan uang logam dan uang kertas yang akan diterimakan kepada gadis-gadis yang merintangi jalannya masuk. Dengan demikian mudahlah bagi pengantin untuk memasuki kamar dan kelambu istrinya. Dalam keadaan yang demikian tibalah saatnya bagi suaminya untuk membuka waru mata (penutup mata) istrinya tetapi tidak begitu saja secara langsung. Ia harus meminta izin dulu kepada ahli riasnya, ialah seorang ibu yang duduk di depan pengantin perempuan. Izin maksud adalah berupa bayaran terhadapnya seperti bayaran-bayaran sebelumnya. Maka duduklah keduanya suami-istri bersanding di atas ranjang yang indah dan dengan bau semerbak, dikelilingi oleh gadis-gadis remaja. Sementara itu terdengarlah teriakan dan tawa yang menyemarakkan suasana.
Tak lama kemudian keluarlah kedua mempelai dari kamarnya dengan diantarkan oleh ahli riasnya menuju ke pelaminan yang telah dipersiapkan di depan para tamu yang telah lama menunggu untuk memberikan ucapan selamat dan doa restu bagi mereka. Pengantin selain didampingi oleh ahli riasnya juga oleh dua pemuda dan gadis cilik yang masing-masing duduk di samping kedua pengantin sambil mengipas-ngipas pengantin. Dalam suasana demikian beramai-ramailah para tamu untuk memberikan ucapan selamat dan memberikan sesuatu kado. Dihadapan pengantin terdapat sebuah meja yang di atasnya tersimpan gulungan rokok yang korek apinya dalam sebuah piring. Setiap tamu yang berjabat tangan dengan pengantin kepadanya disodorkan rokok oleh pengantin perempuan dan rokok itu dibakar oleh pengantin laki-laki, dan ada juga tamu yang mengambil sendiri rokok itu dan membakarnya sendiri.
Akhirnya upacara perkawinan ini disudahi dengan suatu tarian massa yang tidak hanya dilakukan oleh para tamu tetapi juga oleh kedua mempelai dan seluruh anggota keluarga besar dari masing-masing pihak mempelai. Tarian biasanya berlangsung dalam waktu yang sangat panjang hingga sampai menjelang memasuki waktu subuh.
Seluruh prosesi adalah pelaksanaan perkawinan adat suku Tolaki tersebut sudah merupakan gabungan antara tradisi adat dan aturan-aturan agama Islam.

Nilai Budaya dalam Upacara Perkawinan Adat Suku Tolaki
Nilai budaya merupakan konsepsi yang masih bersifat abstrak mengenai dasar dari suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia (Suyono,1985:276). Oleh karena itu nilai sesuatu yang abstrak, seringkali orang atau masyarakat yang terlibat di dalamnya tidak menyadarinya. Masyarakat menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah rutinitas belaka, tradisi atau adat istiadat yang sudah biasa dilakukan. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan mempunyai nilai, mempunyai makna, sehingga bila tradisi yang mereka miliki cenderung menghilang, tidak begitu merasa kehilangan.
1.   Nilai Kekeluargaan dan solidaritas
Seluruh rangkaian upacara perkawinan adat suku Tolaki di Kelurahan Bende, menunjukkan bahwa tidak satupun kegiatan yang lepas dari keterlibatan keluarga secara utuh. Kenyataan ini menunjukkan tingginya nilai kekeluargaan masih kental dan telah mengakar kuat dalam setiap aktivitas upacara-upacara tradisional.  Dalam pelaksanaannya turut dihadiri oleh segenap kerabat dekat maupun keluarga jauh yang datang membantu dan memberikan jasanya dalam pelaksanaan upacara. Setidaknya dapat kita katakan bahwa setiap orang yang terlibat dalam kegiatan upacara lingkaran hidup (life cycle) tidak memandang sebagai pribadi tetapi merupakan bagian dari satu keluarga luas.
Secara khusus upacara tersebut memiliki fungsi-fungsi esensial bagi seluruh anggota keluarga. Dari sudut internal keluarga, upacara perkawinan dapat mempererat kekuatan internal keluarga. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan keluarga keterlibatan suatu rumpun keluarga sangatlah mungkin terjadi. Demikian pula semua kegiatan secara bersama dan berfokus pada satu macam kegiatan. Misalnya dikalangan masyarakat mereka yang masih kuat prinsip kekerabatannya seperti misalnya adat “Perepua” perkawinan merupakan suatu “nilai hidup” untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Di samping itu adakalanya suatu kerabat yang  jauh yaitu “asombue” artinya asal usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kekerabatan. Sebagai contoh perkawinan itu sarana pendekatan dan perdamaian dahulu kala para bangsawan Tolaki ketika mencarikan jodoh putranya sampai  melintasi wilayah suku bangsa tertentu, alias kawin dengan orang lain. Dalam kegiatan inilah silaturahmi antar anggota keluarga dijalin dan perbaharui (Salam, 2005:229-230).
Pelaksanaan upacara daur hidup seperti perkawinan tentunya akan terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif di antara para anggota keluarga luas. Kedua hal ini merupakan komponen utama dalam penyatuan sebuah keluarga, setidaknya kedua hal ini dapat berfungsi dalam menyelesaikan masalah-masalah internal keluarga luas tanpa melibatkan pihak luar atau pengadilan, di samping menyatukan perasaan kekeluargaaan. Seperti yang telah dikatakan bahwa upacara daur hidup dapat mendekatkan kembali hubungan kekerabatan yang retak atau sudah terpisah jauh akibat perkawinan campuran atau akibat migrasi anggota keluarga keluar daerah Bende. Seperti asombue” yang artinya asal usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kekerabatan. Kegiatan upacara yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga luar menjadikan upacara perkawinan dapat berfungsi sebagai ajang memperkenalkan diri di antara anggota yang masih kerabat (Salam, 2005:230).
Upacara ini hanya dapat terlaksana melalui kerjasama masyarakat, sehingga akan mengikat rasa solidaritas mereka. Bahkan karena mereka merasa dari leluhur yang sama, implikasi rasa solidaritas akan semakin tumbuh. Upacara tradisional masih dipertahankan keberadaannya di sana, karena selain berfungsi sebagai penyeimbang dalam pranata sosial juga berfungsi untuk menyampaikan pesan leluhur guna menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat. Seperti halnya peranan Kalosara dalam suatu upacara adat mempunyai maksud dan tujuan ingin mewujudkan rasa solidaritas sosial di kalangan peserta upacara, rasa kesatuan dan persatuan serta mewujudkan cita-cita kesucian dan ketentraman dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Timbulnya pertentangan sosial dalam kehidupan masyarakat Tolaki dapat dipersatukan oleh Kalosara, bersumber dari pandangan mereka bahwa kalo itu adalah simbol kesatuan dan persatuan.
Rasa kebersamaan dan solidaritas yang tinggi dalam suatu kelompok, menciptakan suasana satu tim kerja yang solid. Sebagai satu tim kerja, setiap individu melakukan pendekatan dalam pekerjaan dengan membuat keputusan-keputusan yang akan membawa kesatuan tujuan bersama. Kesatuan tujuan inilah yang membawa pribadi-pribadi yang berbeda ini dalam kerja sama yang baik demi mencapai keberhasilan kelompok. Kesadaran akan solidaritas kelompok juga akan membantu mengendalikan perselisihan yang biasa timbul dalam suatu organisasi. Selain itu, dalam perwujudan solidaritas, selalu berusaha mensukseskan program kerja dengan cara memberikan penghargaan kepada setiap orang di kelompok, dan membuat mereka merasa bahwa setiap orang menghargai usaha mereka. Bentuk kerja sama ini adalah bentuk yang paling penting dari kepribadian orang Tolaki di Bende.
2.   Nilai Tenggang Rasa
Penyelenggaraan perkawinan adat suku Tolaki membutuhkan dukungan dari kerabat dan tetangga terdekat sehingga di dalam pelaksanaannya berjalan dengan lancar . Mulai dari tahap persiapan  sampai rangkaian terakhir, kerabat maupun tetangga turut membantu. Tolong-menolong sudah merupakan budaya yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Bende sejak dulu sampai sekarang. Sifat tolong-menolong tampak dalam hajatan-hajatan  lingkaran hidup (life cycle) seperti acara sunatan dan perkawinan.
3.   Nilai Pendidikan
Para orangtua tampaknya berusaha menanamkan kepada para pemuda agar dapat melestarikannya dengan menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pada masyarakat suku Tolaki ini memiliki tiga istilah dalam pelaksanaan perkawinan yaitu medulu (berkumpul), mesagina (makan bersama datu piring), dan merapu (merumpun). Adanya istilah ini dimaksudkan oleh mereka sebagai adanya persatuan dalam ikatan yang sangat erat dengan semua anggota kerabat, baik dari pihak calon mempelai laki-laki maupun pihak calon mempelai perempuan serta diharapkan melahirkan keturunan yang dapat memperbesarkan satu rumpun keluarga.
Pendidikan budaya dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri masyarakat yang bersangkutan sehingga mereka memiliki nilai sebagai karakter mereka, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Hal demikian pun terjadi pada orang Tolaki, pengembangan pendidikan melalui pemberian ilmu melalui keikutsertaan dalam berbagai rangkaian upacara perkawinan dari berbagai kalangan. Dalam pelaksanaan upacara-upacaranya terjalin interaksi yang dapat mewujudkan pendidikan non formal dikalangan mereka. Pentransferan nilai-nilai untuk mendidik seperti mengajarkan kesopanan, tatakrama, pergaulan yang baik dan lain-lain.
4.   Nilai Keindahan
Nilai Keindahan busana pengantin kedua mempelai. Pakaian yang dikenakan pengantin pria dan wanita terbuat dari kain beludru. Pengantin pria mengenakan baju lengan panjang, kerah tegak, dan celana panjang (saluaro), sarung (osawu), tutup kepala (pabele),  dilengkapi dengan ikat pinggang (sulepe), keris. Hiasan renda pada baju dan celana serta manik-manik berwarna perak dan kuning emas. Sarungnya berupa tenunan benang emas dan perak, sarung ini dililitkan pada pinggang membalut celana panjang, batas sampai lutut sedangkan yang dililitkan pada kepala terbuat dari beludru yang berbentuk segi tiga. Sedangkan pengantin  wanita baju dan sarung yang dibentuk semacam rok panjang,  diberi ornament atau hiasan yang melekat pada sekeliling kerah, ujung lengan bagian bawah baju dan sarung diberi hiasan yang berkombinasi dengan manik-manik berwarna kuning emas. Busana ini dilengkapi dengan hiasan pada kepala dan telinga.
Nilai keindahan tersebut adalah suatu penghargaan atau penilaian yang diberikan kepada masyarakat yang datang di upacara perkawinan. Penilaian tersebut didasarkan pada perasaan (estetika) masyarakat itu sendiri. Keunikannya juga terlihat dari kepercayaan-kepercayaan magis yang terkait kalo yang di sakralkan dan disucikan oleh mereka.

PENUTUP
Perkawinan yang dianggap sebagai suatu proses aktivitas jasmaniah dan rohaniah bagi pasangan suami dan istri. Terdapat lima tahapan dalam upacara perkawinan suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Mandonga Kota Kendari. (1) Metiro adalah tahap awal dari rangkaian pertemuan, ritus dan upacara yang menuju perkawinan, (2) Mondutudu (lamaran pendahuluan) adalah tahap di mana kedua orangtua calon berserta keluarga calon memperlai laki-laki serta juru bicara (tolea) datang ke rumah calon mempelai perempuan untuk melakukan pelamaran pertama, (3) Meloso’ako  tahapan ini merupakan tahap peminangan secara resmi yang juga dilakukan dalam upacara kalo.  Pada tahapan ini, mulai membicarakan mengenai waktu, tanggal dan tempat pelaksanaan perkawinan serta maskawin atau popolo (o somba), (4) Mondongo Niwule (meminang). Tahap ini adalah penghantaran siri-pinang dan biaya penyelenggaraan pesta perkawinan yang dibawa oleh calon mempelai laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan, dan (5) Imowindahako (upacara nikah), tahap ini merupakan tahap ahir dari penyelenggaraan upacara perkawinan secara adat yang disusul dengan pengucapan “akad nikah” sesuai dengan agama (keyakinan) masing-masing.
Seluruh rangkaian upacara perkawinan pada masyarakat Suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Mandonga Kota Kendari dicirikan dengan suasana yang ramai karena dihadiri oleh banyak orang, baik keluarga terdekat maupun yang tidak termasuk dalam keluarga. Kondisi ini memungkinkan terjadinya proses sosial yang kuat dalam pembentukan identitas dan kesadaran sosial sehingga prosesi upacara ini secara efektif memiliki nilai-nilai pada masyarakat penganutnya. Adapun nilai-nilai dari perkawinan adat suku Tolaki tersebut antara lain nilai Nilai Kekeluargaan dan solidaritas, nilai tenggang rasa, nilai pendidikan, dan nilai keindahan.

DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, Ribert dan Tylor J. Steven. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.
Geertz, Clifford.   1992. Kebudayaan dan Agama.  Terjemahan dari buku “The Interpretation of Culture: Selected Essays” oleh Franciscus Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
Ihromi, T.O. 1996. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Isyanti. 2007. “Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris, dalam Jurnal Sejarah dan Budaya. Jantra Vol. II, No. 3. Juni 2007. ISBN 1907-9605. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. 

Keesing, Roger M & Gunawan S. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid II. Terjemahan dari buku “Cultural Anthropology A Contemporary Perspective” oleh R.G. Soekadijo. Jakarta: Arlangga.
Koentjaraningrat. 1980. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

---------------------. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Mulyadi, dkk. 1982/1983. Upacara Tradisional sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 

Salam, Rahayu. 2005. Nilai-nilai Budaya yang Terkandung Dalam Upacara Daur Hidup Pada Masyarakat Mandar Di Banggae Kabupaten Majene. (Editor: Nur Alam Saleh).  Ujung Pandang: Laporan Hasil Penelitian. Kementerian Kebudayaan dan pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Sugono, Dendy, dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional.

Supanto, dkk. 1992.Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventerisasi dan Pembinaan  Nilai-nilai Budaya.

Suprianto, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara. Kendari: Kerjasama Kantor Wilayah Departemen Agama dengan Universitas Muhammadiyah Kendari.
Tariamana, Abdurrauf. 1998. Kebudayaan Tolaki. Balai Pustaka: Jakarta.