NILAI
BUDAYA DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT TOLAKI DI KELURAHAN BENDE KECAMATAN MANDONGA
KOTA KENDARI
CULTURAL VALUES IN
TRADITIONAL MARRIAGE CEREMONY
OF TOLAKI IN BENDE VILLAGE, DISTRICT OF MANDONGA
KENDARI CITY
Budaya atau kebudayaan dalam arti etimologis adalah segala sesuatu
yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Budaya adalah sistem nilai yang
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang menumbuhkan gagasan-gagasan
utama dan menjadi kekuatan pendukung dalam menggerakkan kehidupan. Dengan
demikian budaya merupakan seluruh cara hidup suatu masyarakat yang mewujud
dalam tingkah laku dan hasil tingkah laku yang dipelajari dari berbagai sumber.
Kebudayaan diciptakan oleh faktor biologis manusia, lingkungan alam, lingkungan
psikologis serta lingkungan sejarah (http://wahyukusumaningrum.blogspot.com).
Kebudayaan
dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban manusia. Selain itu, kebudayaan
juga bisa menunjukkan ciri kepribadian manusia atau masyarakat pendukungnya.
Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi manusia, di dalamnya mengandung
norma-norma, tatanan nilai-nilai yang perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia
atau masyarakat pendukungnya. Penghayatan terhadap kebudayaan dapat dilakukan
melalui proses sosialisasi (Koentjaraningrat, 1980:243).
Suatu
kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat nilai-nilai dan cara berlaku
(artinya kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki oleh para warga
dari suatu masyarakat (Ihromi, 1990:21-22). Jadi, kebudayaan menunjuk kepada
berbagai aspek kehidupan. Hal itu meliputi cara-cara bertingkah laku,
kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang
khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu (Mulyadi, dkk
1982/1983:4). Suatu unsur kebudayaan akan tetap bertahan apabila
masih memiliki fungsi atau peranan dalam kehidupan masyarakatnya, sebaliknya
unsur itu akan punah apabila tidak berfungsi lagi. Demikian pula upacara
tradisional sebagai unsur kebudayaan tidak mungkin kita pertahankan apabila
masyarakat pendukungya sudah tidak merasakan manfaatnya lagi (Mulyadi, dkk 1982/1983:8). Dan dalam suatu tradisi selalu ada hubungannya
dengan upacara tradisional (Isyanti, 2007:131).
Upacara tradisional
merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Maka
pelaksanaannya sangat penting artinya
bagi pembinaan sosial budaya masyarakat
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan salah satu fungsi dari upacara
tradisional adalah sebagai penguat norma-norma serta nilai-nilai budaya yang
telah berlaku (Supanto, 1992:221-222).
Norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku secara simbolis dapat ditampilkan melalui bentuk
upacara yang dilakukan oleh seluruh masyarakat pendukungnya. Sehingga upacara tersebut
dapat membangkitkan rasa aman bagi setiap warga masyarakat, serta dapat menjadi pegangan hidup dalam menentukan
sikap dan tingkah lakunya sehari-hari.
Sebagaimana
suku-suku lainnya di wilayah persada nusantara, suku Tolaki juga mempunyai adat
istiadat sebagai bagian kekayaan budaya. Masyarakat suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan
Mandonga Kota Kendari, hingga saat ini masih tetap mempertahankan upacara perkawinan yang berlandaskan dengan
unsur-unsur adat. Dengan mengikuti aturan-aturan adat yang telah diberlakukan sejak turun
temurun berarti masyarakatnya telah dapat
menjaga budaya-budaya lokal tersebut agar tetap lestari.
Pengertian
upacara dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah rangkaian, tindakan atau
perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama;
perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan
peristiwa penting (Sugono, dkk, 2008:1595). Dalam Koentjaraningrat (1984:189) upacara atau
ritual diartikan sebagai suatu sistem aktivitas atau rangkaian
tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang
berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam
masyarakat yang bersangkutan. R. Brown (dalam Keesing,
1992:109) ritual itu dianggap mempertebal perasaan kolektif dan integrasi
sosial. Ritual yang dilaksanakan dapat menimbulkan kerukunan (keselarasan
bersama) bagi kelompok para tetangga (Geertz, 1992:84).
Kaitannya dengan upacara lingkaran
hidup (life cycle), dalam perkawinan masyarakat
Tolaki mereka memakai tiga istilah yakni medulu
(berkumpul), mesanggina (makan
bersama dalam satu piring), dan istilah yang paling lazim digunakan adalah merapu (merumpun). Istilah-istilah
dimaksud bahwa seseorang yang kawin bersatu dalam ikatan sebagai anggota dari
suatu rumpun keluarga yang tergabung dalam ikatan erat dengan semua anggota
kerabat, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami, dan diharapkan akan
melahirkan banyak keturunan, serta semakin memperbesar rumpun itu laksnana
rimbunnya suatu pohon.
Perempuan yang dianggap paling ideal
untuk dijadikan istri bagi orang Tolaki adalah poteha monggoaso (sepupu sekali), poteha monggoruo (sepupu dua kali), dan poteha monggotolu (sepupu tiga kali). Perkawinan dengan sepupu disebut perkawinan mekaputi (ikat mengikat).
Sebagai lawannya dan saat sekarang ini sering terjadi perkawinan di luar sepupu
yang disebut merapu ndono suere
(kawin dengan orang lain). Perkawinan yang ideal semacam ini, pada dasarnya
agar harta kekayaan tidak jatuh pada pihak lain di luar kerabat dan integrasi asal
dari satu nenek moyang tetap terbina dan dipertahankan. Sedangkan bagi seorang
laki-laki memilih gadis di luar dari kerabatnya (tidak ada hubungan
kekerabatan) didasarkan pada gagasan untuk memperluas lingkungan kerabatnya dan
serta ada tujuan tertentu yang dikehendaki (Tarimana dalam Supriyanto,
2009:230).
Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk perkawinan
masyarakat suku Tolaki? Dan nilai-nilai budaya apa saja yang terkandung
dalam perkawinan adat suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Bende Kota Kendari?
Tujuannya untuk mengetahui
bentuk dan tahapan-tahapan dalam pelaksanaan
upacara perkawinan suku Tolaki, serta dapat mengetahui nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam pelaksanaan upacara adat suku Tolaki di Kelurahan Bende
Kecamatan Mandonga Kota Kendari.
Metode
yang digunakan adalah deskriptif melalui pendekatan kualitatif dengan
mengamati, menggambarkan dan mengungkapkan perilaku upacara-upacara daur hidup.
Teknik pengumpulan data melalui data primer dan data sekunder. Data primer
telah diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh
melalui sumber-sumber referensi yang terkaitan dengan upacara-upacara daur
hidup. Penelitian ini
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang atau perilaku yang dapat diamati (Bogdan & Taylor, (1993:5)
PEMBAHASAN
Dalam
proses atau tahapan perkawinan, orang Tolaki berpandangan bahwa perkawinan
adalah suatu proses tahapan memasuki kehidupan yang sangat sakral. Perkawinan
dianggap sebagai suatu proses aktivitas jasmaniah dan rohaniah bagi pasangan
suami dan istri. Dengan demikian, proses perkawinan itu dilakukan melalui adat istiadat. Terdapat
lima tahapan
dalam upacara perkawinan suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan Mandonga Kota
Kendari. sebagai berikut:
Tahap
metiro (mengintip, meninjau calon istri)
Metiro adalah tahap
awal dari rangkaian pertemuan, ritus dan upacara yang menuju perkawinan. Pada
tahap ini, kedua orangtua calon mempelai laki-laki mengunjungi rumah calon
mempelai perempuan untuk mengamatinya secara diam-diam. Memastikan calon
menantunya benar-benar seseorang yang diinginkannya dengan mengamati
aktifitasnya sehari-hari. Apabila si gadis tidak tidur tetapi sibuk bekerja di
dapur, menjahit atau sedang menganyam misalnya. Maka si pengunjung tersebut
meninggalkan sebuah benda berupa bingkisan kain yang berisi sirih-pinang, uang
logam, perhiasan perempuan tanpa sepengetahuan pihak rumah atau mereka sebut
dengan istilah monggolupe. Setelah tiga atau tujuh hari, pihak keluarga
calon mempelai perempuan tidak mengembalikannya maka tahap kedua sudah bisa
dilaksanakan.
Tahap
mondutudu atau pelamaran jajangan
Mondutudu
(lamaran pendahuluan) adalah tahap di mana kedua orangtua calon berserta keluarga
calon memperlai laki-laki serta juru bicara (tolea) datang ke rumah
calon mempelai perempuan untuk melakukan pelamaran pertama. Orang tua calon
istri untuk melakukan pelamaran yang pertama. Dan mengundang sejumlah anggota
keluarganya untuk mengikuti calon pelamaran ini. Dengan menggunakan kalo, juru
bicara menyampaikan kata-kata lamarannya kepada keluarga si gadis. Dalam
peristiwa ini terjadilah dialog antara kedua belah pihak melalui juru bicara
masing-masing. Isi dari tiap dialog pada dasarnya pihak laki-laki menanyakan
kepada pihak perempuan. Apa orang tua si gadis mempunyai se bidang tanh, hutan
belukar yang dapat diolah, ditanami dan diperilahara laki-laki. Pihak perempuan
menjawab menjawab pertanyaan tersebut. Bahwa kami mempunyai sebidang tanah,
tetapi apakah pihak laki-laki mampu mengolahnya karena tanah yang dimaksud
memiliki banyak duri, bamboo, akar melintang, lagi pula tanahnya kurang subur.
Jika engkau berkeinginan untuk itu maka autinggi tinggi’iki o lutunu (engkau
harus menyembunyikan lututmu), maksudnya, apakah calon suami dan keluarganya
mampu fisik untuk bertindak dan melakukan fungsi sebagai suami, atau menantu
atau ipar. Juru bicara dari pihak perempuan kepada juru bicara pihak laki-laki.
Dengan tegas dijawab oleh juru bicaranya bahwa ia telah siap untuk itu. Maka
selanjutnya diterimalah lamaran pendahuluan. Adapun syair-syair dalam
pelamaran, sebagai berikut:
“Iyee
nggomio, tolea, pabitara;
Pabitara
tina. toleano mbulaika;
Iyee
ngomiu mbera ulono anakia. Tusa tonggono lipu;
Luewuakondo’aa
mbera tamono anamotuo, ronga toono meohai;
Laa-laa
moronggo-ronggo, etai moppo-moppo dea;
Niinoi
tadea, I’aandeporombobu’a
Artinya:
Yang saya hormati, juru bicara tuan rumah;
Selaku wakil adat pihak keluarga wanita;
Penyambung lidah keluarga tuan rumah;
Para Tetua Adat Negeri yang saya muliakan;
Hadirin dan hadirat peserta upacara yang saya
hormati;
Tudo’ito
osara, telenga poewai;
Tudu
mepotira, telenga mepoluhu;
Iraimiu
tolea, iwoimiu pabitara;
Pabitara
mbulaika, tolearo mburaha;
Tolearo
mbuana, pabitaro mbuwulele;
Artinya:
Telah terhampar kalo di depan kita semua;
Terhampar merentang, terbentang melabar;
Di tengah-tengah kita sekalian;
Dipelupuk mata kuasa orang tua si gadis;
Maa
niino inggomiu, tolea;
Sara
mbesukonoto pabitara ine langgai;
Peowai
mbombependehimamito lako ihanumiu tolea;
Keno
hendeakono ano taaniondo anamotuo;
La
tineolu-olungako, bara tootopo nanio meohai nggo pinote-potende;
Laa
ito patudumami, nggo sumau-saru’i otuomami
Artinya:
Inilah niat adat penghormatan kami;
Adat penghormatan pihak keluarga pria;
Adat penghargaan kami bersama semua rombongan;
Telah terbetik kehendak kami untuk bertanya;
Lahir sudah keingingan rombongan kami untuk memohon
isyarat;
Nggo
umeroii laa-laa nilakoakomami;
Leu
butukomiu, dunggu sumusuakomiu ikeni laikamiu iune rahamiu;
Maa
iye nggomiu toleea, pinerahi-rahiro mbulaika;
Akuto
botalaoke laa otuomami, akuto semaroikomiu niino kenohawo laa nilakoarko mami;
Nggo
leumamito tamono mokodunggui niino bite tinongo
Niwule
nggukalero I………………;
Bite
mbonduutuduroto Inano I………;
Mbeohai,
ronga mbeoanamotuo;
Artinya:
Apakah gerangan semua keluarga sudah hadir semua;
Maka sekiranya semua telah hadir;
Inginlah rasanya untuk memulai acara ini;
Malahirkan maksud, menyampaikan tujuan kedatangan
kami;
Ropeo
otuonggeto, ropeleleongge;
Leu
butukomiu, dunggu sumuakomiu irahamiu iaalaikamiu;
Roosito
laa mepenao’i, romenggauto laa menawa-nawangge;
Marolaambo
metanggoro, taahori mosekangge;
Mbeepo
tamono taahori mombeka hori-hori ako;
Pesaruno
taa hori mombeka here-hereako;
Artinya:
Maka wahai juru bicara adat tuan rumah;
Perkenanlah saya untuk memulai kata;
Kata maksud kedatangan kami;
Ucapan isi tujuan kehadiran kami;
Bahwa tak lain dan tak bukan maksud kami;
Kecuali semata-mata tujuan membawa pesan;
Pesan bungkusan sirih-pinang bapaknya si ………………….;
Pesan daun siri-pinang penjajakan mamaknya si
……………..;
Maa
niina inggomiu Tolea;
Tamonoto
Sara mbonduutudu, Niwule mborakepi;
Kionggoto
kuri meosuko, tamono mombeokunaahi;
Keno
uhu-uhuako bara laambo mbulaika monaa-naa anasepu;
Mombia-piara
tamono anahoma;
Anasepu
nggomalurano, anahoma ngewali tinau-tau;
Artinya:
Bahwa telah lama niat hasrat suci ini;
Terpendam di hati, terbungkus rapih di dalam kalbu;
Namun barulah saat ini, dapat kami lahirkan;
Karena hambatan segan dan ragu;
Terlebih lagi, karena saling berjauhan;
Noowose
niaro nggo masale-salei;
Noteondo
penaoro nggo mombopoti-potiso;
Nggo
mondau-tau gandu, mehawu-hawu wua mburundawa;
Nolaambo
uhuaro longgai taa hori nio wuta mbinotisono;
Anandonia
ndinorairo, taa hori laa homa mbinarahino;
Artinya:
Tapi kini telah jelaslah sudah maksud adat kami;
Karena tujuan adat kami adalah adat peminangan
awal;
Adat ingin bertanya, kehendak ingin tahu sesuatu
dari tuan rumah yang tercinta;
Sekiranya tuan rumah masih menyimpan sebidang
lahan;
Lahan semak belukar, tempat untuk bertanam jagung
serta sayuran;
Lahan yang subur, semak belukar yang rimbun.
Iyee
nggomiu Tolea, Pabitara;
Nggombera
ikenitokaa, kenoohawo keku tulura;
Akuto
mesukahako, morongo-rongo;
Meturusako
mope-poedea, Iyee inggomiu luwuakono”. Wassalamu’alaikum War. Wab.
Artinya:
Maka jika sekiranya ada, sungguh besar niat kami
untuk memintanya untuk membersihkan dan menanaminya;
Bagi anak muda kami yang sampai kini belum ada
lahannya;
Lahan yang akan ditempati serta akan dirawatnya;
Demikian kiranya, yang kami ingin sampaikan;
Lebih kurangnya mohon dimaafkan;
Kami akhiri pembicaraan ini sampai di sini;
Dan sesudah ini, kami tinggal menanti tanggapan
anda;
Sekian Wassalamu’alaikum War. Wab.
Tahap
pelamaran sesungguhnya (meloso’ako)
Tahapan ini merupakan
tahap peminangan secara resmi yang juga dilakukan dalam upacara kalo. Dalam tahapan ini, mulai membicarakan
mengenai waktu, tanggal dan tempat pelaksanaan perkawinan serta maskawin atau popolo
(o somba). Adapun benda-benda yang menjadi popolo (o somba)
yakni o benggi artinya tempayang,
karandu (gong), kiniku (kerbau),
pu’u ndawaro, (rumpun sagu), serta o kasa (kain katun putih). Bagi orang Tolaki di
Kelurahan Bende jumlah mas kawin bergantung dengan derajat sosial calon
mempelai perempuan, dan terdiri atas 3 macam:
1.
Pu’uno
(dasar, pokoknya) yang dinilai dengan o
kasu (pohon atau batang)
2.
Wawono,
tawano, ihino (masing-masing bagian dari pohon, daun,
buah) yang dinilai dengan o mata
(suatu harta yang dinyatakan dengan sebuah, sepotong, seutas, selembar, dan
seterusnya.
3.
Sara
pe’ana (adat pengasuhan bayi), maksudnya, ganti rugi
pengasuhan bayi perempuan, yang dinilai dengan boku mbebahoa (wadah pemandian bayi), tambu-tambu (timba air memandikan bayi), posiku o hulo like-like mata (alat menyalakan lampu dammar untuk
tidak tidur dalam menjaga bayi). Adapun tempat dan waktu pesta perkawinan pada
umumnya ditetapkan untuk diselenggarakan di rumah orang tua atau pihak keluarga
perempuan dan di dalam waktu yang dipandang baik, yaitu bulan haji pada hari
malam bulan molambu-mataomehe (hari
malam 14 dan 15 bulan di langit).
Tahap
Mondongo
Niwule (meminang).
Tahap ini adalah penghantaran
siri-pinang dan biaya penyelenggaraan pesta perkawinan yang dibawa oleh calon
mempelai laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan. Adapun benda-benda yang
dibawa calon mempelai laki-laki, berupa: sejumlah uang, beras, kerbau sesuai
dengan jumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Inti dari
maksud tahapan ini adalah selain penghantaran sirih pinang tetapi juga calon
suami memberikan bingkisan kepada calon istrinya, berupa apa yang disebut pobe-babuki-pombesawuki (pakaian
lengkap, perhiasan, dan aneka ragam benda kosmetik).
Tahap
Imowindahako
(upacara nikah)
Tahap ini merupakan
tahap ahir dari penyelenggaraan upacara perkawinan secara adat yang disusul
dengan pengucapan “akad nikah” sesuai dengan agama (keyakinan) masing-masing.
Dalam upacara pernikahan secara adat ini pihak laki-laki melalui juru bicaranya
menunjukkan dan mengumumkan secara resmi semua benda-benda mas kawin yang
dibawa oleh pihak mempelai laki-laki yang telah ditetapkan bersama oleh kedua
belah pihak. Kemudian benda-benda tersebut diserahkan atau diterimakan pihak keluarga
mempelai perempuan melalui juru bicaranya.
Mengamati tahap-tahap dalam proses
penyelenggaraan perkawinan dalam masyarakat suku Tolaki yang telah digambarkan
di atas, tampak suatu hal yang mendasar. Yaitu bahwa mulai tahap kedua sampai
tahap kelima selalu diadakan upacara dengan menggunakan kalo. Tanpa kalo suatu
upacara dalam perkawinan dianggap tidak sah. Tidak ada upacara tanpa disertakan
kalo. Selanjutnya adalah asas
perwakilan yang diperankan oleh dua juru bicara, baik dari pihak laki-laki
maupun pihak perempuan. Masing-masing memerankan hubungan antara kedua belah
pihak di kalangan keluarga pihak laki-laki-laki dan keluarga pihak perempuan.
Pada malam yang bersamaan, baik
pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan akan diberi perhiasan oleh
seorang ahli untuk menghadapi cara pernikahan esoknya. Malam sebelumnya, sehari
sebelum akad nikah, di rumah masing-masing pengantin ramai dikunjungi dari
pihak kerabat yang diundang untuk hadir menemui pengantin, untuk mengambil
bahan rias yang telah dipersiapkan dalam sebuah piring, dengan ibu jari
mengoleskannya dibagian paras pengantin. Selain itu ada pula di antara tamu
telah memberikan kado kepada pengantin, walapun pada acara resepsi pernikahan
masih ada kesempatan untuk itu.
Keesokan harinya atau hari menjelang
akad nikah, para rombongan dari pihak pengantin laki-laki menuju rumah
pengantin perempuan. Para rombongan terdiri atas ahli rias pengantin, kedua
orang tuanya pengantin, sejumlah pengantar membawa alat-alat perlengkapan mas
kawin dan pakaian pengantin laki-laki, juru bicara, dan sejumlah anggota rombongan
dari kerabat dan tetangga terdekat. Biasanya seorang ahli rias adalah seorang
dukun yang bertanggung jawab atas segala hambatan yang timbul dalam perjalanan
menuju rumah pengantin perempuan.
Di pintu gerbang rumah pengantin
perempuan dihalangi sejumlah gadis remaja yang cantik-cantik sebagai pagar ayu
yang siap menanti tibanya rombongan pengantin laki-laki, yang menuntut sejumlah
kepingan uang logam dan uang kertas agar rombongan dapat langsung memasuki
pekarangan rumah. Dengan demikian, maka dibukakanlah jalan agar pengantin
bersama rombongannya dapat masuk atau naik ke rumah. Di atas tangga tampak
sejumlah ibu-ibu menghamburkan beras kuning ke atas kepala dan muka pengantin
dan rombongannya.
Hambatan kedua kembali tidak bisa langsung masuk dalam rumah karena ditutup
barisan gadis-gadis remaja. Mereka menuntut pula pembayaran seperti yang
terjadi di pekarangan pintu gerbang. Setelah kembali melakukan pembayaran
dengan memberikan uang logam dan sejumlah uang kertas maka dipersilahkanlah
pengantin laki-laki bersama rombongannya memasuki rumah dan dipersilahkan oleh
pemilik rumah untuk mengambil tempat duduk yang telah dipersiapkan.
Kedua pihak keluarga dari pengantin laki-laki dan perempuan saling
berhadap-hadapan, dan dalam suasana hening bening. Selanjutnya dilakukanlah
acara mombesara (acara puncak dari
adat perkawinan adat suku Tolaki) untuk melakukan upacara mowindahako (akad nikah). Acara ini diperankan oleh kedua juru bicara dari pihak kedua mempelai,
dengan perantara kalo, intinya
terletak pada penyerahan mas kawin kepada pihak keluarga pengantin perempuan.
Setelah juru bicara pihak laki-laki meletakkan atribut kalo di depan juru bicara pihak
perempuan, maka ia mulai berdialog sebagai kata pembuka dari dialognya dengan
juru bicara pihak perempuan. Kata-kata pembuka tersebut ditujukan kepada juru
bicara, orang tua dan keluarga pihak pengantin perempuan yang telah
diperlakukan telah hadir. Isi dialog antara kedua juru bicara tersebut adalah
seputar pada beberapa hal, yaitu; (1) kesiapan benda-benda mas kawin dari pihak
laki-laki untuk segera diserahkan kepada pihak perempuan; (2) permohonan pihak
laki-laki kepada pihak perempuan untuk menerima mas kawin yang telah
diperhadapkan dengan rasa kekeluargaan yang dalam; (3) pernyataan pihak perempuan akan kesungguhan pihak laki-laki
dalam usahanya menyambung tali persaudaraan dan memperluas hubungan
kekeluargaan; dan (4) serangkaian ungkapan-ungkapan yang menggambarkan suasana
gembira dan lucu sebagai rasa syukur atas lancarnya proses pelaksanaan acara.
Sesudah seluruh prosesi di atas dilaksanakan tiba saatnya dilaksanakan
rangkaian pernikahan yang dilakukan secara Islam. Biasanya diawali dengan
pembacaan ayat-ayat suci Al-quran, kemudian secara berturut-turut
penandatanganan berkas-berkas nikah oleh petugas penghulu, penyerahan mas
kawin, penyerahan perwalian dari wali perempuan kepada petugas penghulu jiwa
walinya tidak berkenan menikahkan anak perwaliannya. Kemudian prosesi akad
nikah yang terdiri atas khutbah nikah, ijab-qabul dan doa.
Acara selanjutnya adalah pengantin laki-laki memasuki kamar di mana
istrinya sedang dipingit di atas ranjang. Untuk ketiga dan keempat kalinya
pengantin laki-laki dan pengiringnya menemui rintangan untuk masuk karena pintu
kamar dan kelambu sedang dibentengi oleh sejumlah gadis yang menuntut pula
bayaran. Di sini tampak pengiring pengantin laki-laki tidak segan mengeluarkan
sejumlah kepingan uang logam dan uang kertas yang akan diterimakan kepada
gadis-gadis yang merintangi jalannya masuk. Dengan demikian mudahlah bagi pengantin
untuk memasuki kamar dan kelambu istrinya. Dalam keadaan yang demikian tibalah
saatnya bagi suaminya untuk membuka waru mata (penutup mata) istrinya tetapi
tidak begitu saja secara langsung. Ia harus meminta izin dulu kepada ahli
riasnya, ialah seorang ibu yang duduk di depan pengantin perempuan. Izin maksud
adalah berupa bayaran terhadapnya seperti bayaran-bayaran sebelumnya. Maka
duduklah keduanya suami-istri bersanding di atas ranjang yang indah dan dengan
bau semerbak, dikelilingi oleh gadis-gadis remaja. Sementara itu terdengarlah
teriakan dan tawa yang menyemarakkan suasana.
Tak lama kemudian keluarlah kedua mempelai dari kamarnya dengan
diantarkan oleh ahli riasnya menuju ke pelaminan yang telah dipersiapkan di
depan para tamu yang telah lama menunggu untuk memberikan ucapan selamat dan
doa restu bagi mereka. Pengantin selain didampingi oleh ahli riasnya juga oleh
dua pemuda dan gadis cilik yang masing-masing duduk di samping kedua pengantin
sambil mengipas-ngipas pengantin. Dalam suasana demikian beramai-ramailah para
tamu untuk memberikan ucapan selamat dan memberikan sesuatu kado. Dihadapan
pengantin terdapat sebuah meja yang di atasnya tersimpan gulungan rokok yang
korek apinya dalam sebuah piring. Setiap tamu yang berjabat tangan dengan pengantin
kepadanya disodorkan rokok oleh pengantin perempuan dan rokok itu dibakar oleh
pengantin laki-laki, dan ada juga tamu yang mengambil sendiri rokok itu dan
membakarnya sendiri.
Akhirnya upacara perkawinan ini disudahi dengan suatu tarian massa yang tidak
hanya dilakukan oleh para tamu tetapi juga oleh kedua mempelai dan seluruh
anggota keluarga besar dari masing-masing pihak mempelai. Tarian biasanya
berlangsung dalam waktu yang sangat panjang hingga sampai menjelang memasuki
waktu subuh.
Seluruh prosesi adalah pelaksanaan perkawinan adat suku Tolaki tersebut
sudah merupakan gabungan antara tradisi adat dan aturan-aturan agama Islam.
Nilai Budaya dalam Upacara Perkawinan
Adat Suku Tolaki
Nilai budaya merupakan konsepsi yang masih bersifat abstrak mengenai
dasar dari suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia (Suyono,1985:276).
Oleh karena itu nilai sesuatu yang abstrak, seringkali orang atau masyarakat
yang terlibat di dalamnya tidak menyadarinya. Masyarakat menganggap bahwa apa
yang mereka lakukan adalah rutinitas belaka, tradisi atau adat istiadat yang
sudah biasa dilakukan. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan
mempunyai nilai, mempunyai makna, sehingga bila tradisi yang mereka miliki
cenderung menghilang, tidak begitu merasa kehilangan.
1.
Nilai Kekeluargaan dan solidaritas
Seluruh rangkaian upacara
perkawinan adat suku Tolaki di Kelurahan Bende, menunjukkan bahwa tidak satupun
kegiatan yang lepas dari keterlibatan keluarga secara utuh. Kenyataan ini
menunjukkan tingginya nilai kekeluargaan masih kental dan telah mengakar kuat
dalam setiap aktivitas upacara-upacara tradisional. Dalam pelaksanaannya turut dihadiri oleh
segenap kerabat dekat maupun keluarga jauh yang datang membantu dan memberikan
jasanya dalam pelaksanaan upacara. Setidaknya dapat kita katakan bahwa setiap
orang yang terlibat dalam kegiatan upacara lingkaran hidup (life cycle) tidak memandang sebagai pribadi tetapi merupakan
bagian dari satu keluarga luas.
Secara khusus upacara tersebut
memiliki fungsi-fungsi esensial bagi seluruh anggota keluarga. Dari sudut
internal keluarga, upacara perkawinan dapat mempererat kekuatan internal
keluarga. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan keluarga keterlibatan
suatu rumpun keluarga sangatlah mungkin terjadi. Demikian pula semua kegiatan
secara bersama dan berfokus pada satu macam kegiatan. Misalnya dikalangan masyarakat mereka yang masih
kuat prinsip kekerabatannya seperti misalnya adat “Perepua” perkawinan
merupakan suatu “nilai hidup” untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan
silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Di samping itu adakalanya
suatu kerabat yang jauh yaitu “asombue”
artinya asal usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan
perdamaian kekerabatan. Sebagai contoh perkawinan itu sarana pendekatan dan
perdamaian dahulu kala para bangsawan Tolaki ketika mencarikan jodoh putranya
sampai melintasi wilayah suku bangsa tertentu, alias kawin dengan orang
lain. Dalam
kegiatan inilah silaturahmi antar anggota keluarga dijalin dan perbaharui
(Salam, 2005:229-230).
Pelaksanaan upacara
daur hidup seperti perkawinan tentunya akan terjadi interaksi dan komunikasi
yang intensif di antara para anggota keluarga luas. Kedua hal ini merupakan
komponen utama dalam penyatuan sebuah keluarga, setidaknya kedua hal ini dapat
berfungsi dalam menyelesaikan masalah-masalah internal keluarga luas tanpa
melibatkan pihak luar atau pengadilan, di samping menyatukan perasaan
kekeluargaaan. Seperti yang telah dikatakan bahwa upacara daur hidup dapat
mendekatkan kembali hubungan kekerabatan yang retak atau sudah terpisah jauh
akibat perkawinan campuran atau akibat migrasi anggota keluarga keluar daerah
Bende. Seperti “asombue”
yang artinya asal usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan
perdamaian kekerabatan. Kegiatan upacara yang diikuti oleh
seluruh anggota keluarga luar menjadikan upacara perkawinan dapat berfungsi
sebagai ajang memperkenalkan diri di antara anggota yang masih kerabat (Salam,
2005:230).
Upacara ini hanya dapat terlaksana melalui kerjasama masyarakat, sehingga
akan mengikat rasa solidaritas mereka. Bahkan karena mereka merasa dari leluhur
yang sama, implikasi rasa solidaritas akan semakin tumbuh. Upacara tradisional
masih dipertahankan keberadaannya di sana, karena selain berfungsi sebagai penyeimbang
dalam pranata sosial juga berfungsi untuk menyampaikan pesan leluhur guna
menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat. Seperti halnya peranan
Kalosara dalam suatu upacara adat mempunyai maksud dan tujuan ingin
mewujudkan rasa solidaritas sosial di kalangan peserta upacara, rasa kesatuan
dan persatuan serta mewujudkan cita-cita kesucian dan ketentraman dan
kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Timbulnya pertentangan sosial
dalam kehidupan masyarakat Tolaki dapat dipersatukan oleh Kalosara,
bersumber dari pandangan mereka bahwa kalo itu adalah simbol kesatuan
dan persatuan.
Rasa kebersamaan dan solidaritas yang tinggi dalam suatu kelompok,
menciptakan suasana satu tim kerja yang solid. Sebagai satu tim kerja, setiap
individu melakukan pendekatan dalam pekerjaan dengan membuat
keputusan-keputusan yang akan membawa kesatuan tujuan bersama. Kesatuan
tujuan inilah yang membawa pribadi-pribadi yang berbeda ini dalam kerja sama
yang baik demi mencapai keberhasilan kelompok. Kesadaran akan solidaritas
kelompok juga akan membantu mengendalikan perselisihan yang biasa timbul dalam
suatu organisasi.
Selain itu, dalam perwujudan solidaritas, selalu berusaha mensukseskan program
kerja dengan cara memberikan penghargaan kepada setiap orang di kelompok, dan
membuat mereka merasa bahwa setiap orang menghargai usaha mereka. Bentuk kerja
sama ini adalah bentuk yang paling penting dari kepribadian orang Tolaki di
Bende.
2.
Nilai Tenggang Rasa
Penyelenggaraan perkawinan adat suku
Tolaki membutuhkan dukungan dari kerabat dan tetangga terdekat sehingga di
dalam pelaksanaannya berjalan dengan lancar . Mulai dari tahap persiapan sampai rangkaian terakhir, kerabat maupun
tetangga turut membantu. Tolong-menolong sudah merupakan budaya yang dilakukan oleh
masyarakat di Kelurahan Bende sejak dulu sampai sekarang. Sifat tolong-menolong tampak dalam hajatan-hajatan lingkaran hidup (life cycle) seperti acara sunatan dan perkawinan.
3.
Nilai Pendidikan
Para orangtua tampaknya
berusaha menanamkan kepada para pemuda agar dapat melestarikannya dengan
menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pada masyarakat suku Tolaki
ini memiliki tiga istilah dalam pelaksanaan perkawinan yaitu medulu (berkumpul),
mesagina (makan bersama datu piring), dan merapu (merumpun).
Adanya istilah ini dimaksudkan oleh mereka sebagai adanya persatuan dalam
ikatan yang sangat erat dengan semua anggota kerabat, baik dari pihak calon
mempelai laki-laki maupun pihak calon mempelai perempuan serta diharapkan
melahirkan keturunan yang dapat memperbesarkan satu rumpun keluarga.
Pendidikan budaya
dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa pada diri masyarakat yang bersangkutan sehingga mereka memiliki nilai
sebagai karakter mereka, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis,
produktif dan kreatif. Hal demikian pun terjadi pada orang Tolaki, pengembangan
pendidikan melalui pemberian ilmu melalui keikutsertaan dalam berbagai rangkaian
upacara perkawinan dari berbagai kalangan. Dalam pelaksanaan upacara-upacaranya
terjalin interaksi yang dapat mewujudkan pendidikan non formal dikalangan
mereka. Pentransferan nilai-nilai untuk mendidik seperti mengajarkan kesopanan,
tatakrama, pergaulan yang baik dan lain-lain.
4.
Nilai
Keindahan
Nilai Keindahan busana pengantin kedua mempelai. Pakaian yang dikenakan pengantin pria dan wanita terbuat dari kain
beludru. Pengantin pria mengenakan baju lengan panjang, kerah tegak, dan celana
panjang (saluaro), sarung (osawu), tutup kepala (pabele), dilengkapi dengan ikat pinggang (sulepe),
keris. Hiasan renda pada baju dan celana serta manik-manik berwarna perak dan
kuning emas. Sarungnya berupa tenunan benang emas dan perak, sarung ini
dililitkan pada pinggang membalut celana panjang, batas sampai lutut sedangkan
yang dililitkan pada kepala terbuat dari beludru yang berbentuk segi tiga.
Sedangkan pengantin wanita baju dan
sarung yang dibentuk semacam rok panjang, diberi ornament atau hiasan yang melekat pada
sekeliling kerah, ujung lengan bagian bawah baju dan sarung diberi hiasan yang
berkombinasi dengan manik-manik berwarna kuning emas. Busana ini dilengkapi
dengan hiasan pada kepala dan telinga.
Nilai keindahan tersebut adalah suatu penghargaan atau penilaian yang diberikan
kepada masyarakat yang datang di upacara perkawinan. Penilaian tersebut
didasarkan pada perasaan (estetika) masyarakat itu sendiri. Keunikannya juga
terlihat dari kepercayaan-kepercayaan magis yang terkait kalo yang di
sakralkan dan disucikan oleh mereka.
PENUTUP
Perkawinan yang dianggap
sebagai suatu proses aktivitas jasmaniah dan rohaniah bagi pasangan suami dan
istri. Terdapat lima tahapan dalam upacara perkawinan suku Tolaki
di Kelurahan Bende Kecamatan Mandonga Kota Kendari. (1) Metiro adalah tahap
awal dari rangkaian pertemuan, ritus dan upacara yang menuju perkawinan, (2) Mondutudu (lamaran pendahuluan) adalah
tahap di mana kedua orangtua calon berserta keluarga calon memperlai laki-laki
serta juru bicara (tolea) datang ke rumah calon mempelai perempuan untuk
melakukan pelamaran pertama, (3) Meloso’ako tahapan ini merupakan tahap peminangan secara
resmi yang juga dilakukan dalam upacara kalo. Pada tahapan ini, mulai membicarakan mengenai
waktu, tanggal dan tempat pelaksanaan perkawinan serta maskawin atau popolo (o
somba), (4) Mondongo Niwule (meminang). Tahap ini adalah penghantaran
siri-pinang dan biaya penyelenggaraan pesta perkawinan yang dibawa oleh calon
mempelai laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan, dan (5) Imowindahako
(upacara nikah), tahap ini merupakan tahap ahir dari penyelenggaraan upacara perkawinan
secara adat yang disusul dengan pengucapan “akad nikah” sesuai dengan agama
(keyakinan) masing-masing.
Seluruh rangkaian
upacara perkawinan pada masyarakat Suku Tolaki di Kelurahan Bende Kecamatan
Mandonga Kota Kendari dicirikan dengan suasana yang ramai karena dihadiri oleh
banyak orang, baik keluarga terdekat maupun yang tidak termasuk dalam keluarga.
Kondisi ini memungkinkan terjadinya proses sosial yang kuat dalam pembentukan
identitas dan kesadaran sosial sehingga prosesi upacara ini secara efektif memiliki
nilai-nilai pada masyarakat penganutnya. Adapun nilai-nilai dari perkawinan
adat suku Tolaki tersebut antara lain nilai Nilai Kekeluargaan dan solidaritas,
nilai tenggang rasa, nilai pendidikan, dan nilai keindahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bogdan,
Ribert dan Tylor J. Steven. 1993. Kualitatif
Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Terjemahan dari buku “The Interpretation of Culture: Selected Essays” oleh Franciscus
Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
Http://wahyukusumaningrum.blogspot.com/2009/10/ketahanan-budaya-indonesia.html.
Diakses pada tanggal 18 Juli 2013.
Ihromi, T.O. 1996. Pokok-pokok
Antropologi Budaya. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Isyanti. 2007. “Tradisi
Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris”, dalam
“Jurnal Sejarah dan Budaya”. Jantra Vol. II, No. 3. Juni 2007. ISBN 1907-9605. Yogyakarta: Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta.
Keesing, Roger M & Gunawan S. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid II.
Terjemahan dari buku “Cultural Anthropology A Contemporary Perspective” oleh
R.G. Soekadijo. Jakarta: Arlangga.
Koentjaraningrat. 1980. Metode-metode
Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
---------------------.
1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Mulyadi, dkk. 1982/1983. Upacara Tradisional sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Salam, Rahayu. 2005. Nilai-nilai Budaya yang
Terkandung Dalam Upacara Daur Hidup Pada Masyarakat Mandar Di Banggae Kabupaten
Majene. (Editor: Nur Alam Saleh). Ujung
Pandang: Laporan Hasil Penelitian. Kementerian Kebudayaan dan
pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Kebudayaan, Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.
Sugono,
Dendy, dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
Kementerian Pendidikan Nasional.
Supanto, dkk. 1992.Upacara Tradisional
Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: Proyek Inventerisasi dan Pembinaan
Nilai-nilai Budaya.
Suprianto,
dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara. Kendari:
Kerjasama Kantor Wilayah Departemen Agama dengan Universitas Muhammadiyah
Kendari.
Tariamana, Abdurrauf. 1998. Kebudayaan
Tolaki. Balai Pustaka: Jakarta.
Assalamualaikum
ReplyDeletekak, boleh minta kontaknya?